Pendakian Tektok: Gaya Baru Mendaki atau Sekadar Gengsi?

Pendakian Tektok

Mounture.com — Akhir-akhir ini, istilah tektok makin sering terdengar di kalangan pendaki. Buat yang belum familiar, pendakian tektok itu istilah gaulnya buat naik-turun gunung dalam satu hari, tanpa menginap.

Hemat waktu, hemat biaya, dan katanya sih lebih menantang. Tapi, pertanyaannya adalah apakah pendakian tektok ini bentuk efisiensi atau justru ekspresi ego?

Sebagai orang yang pernah ngerasain pendakian tektok, gue paham betul sensasi adrenalinnya. Bangun dini hari, ngejar sunrise, lalu buru-buru turun biar nggak kejebak hujan atau macet.

Rasanya kayak ikut lomba lari, tapi tanjakannya vertikal dan napas tinggal setengah. Seru? Iya. Tapi bijak? Belum tentu.

BACA JUGA:

7 Air Terjun Tersembunyi di Indonesia yang Masih Jarang Dijamah Wisatawan

Beberapa Mitos Pendakian Gunung yang Harus Kamu Ketahui

Masalahnya, tren tektok ini sering kali nggak dibarengi dengan kesiapan fisik dan mental yang cukup. Banyak yang ikut-ikutan tanpa latihan, mengira naik gunung itu kayak jogging sore di taman komplek.

Padahal, risiko kecelakaan di gunung itu real. Kelelahan, kram, dehidrasi, sampai hipotermia bisa terjadi, apalagi kalau naiknya ngebut dan logistik minim.

Belum lagi urusan etika. Banyak pendaki tektok yang saking buru-burunya, ninggalin sampah di jalur. Alasannya? Nggak sempat, udah capek, nanti aja. Ini jelas jadi bumerang buat kelestarian alam.

Gaya tektok bukan berarti boleh semena-mena sama lingkungan. Naik cepat, turun cepat, tapi jejaknya nyampah? Nggak keren, bro.

Gue nggak anti tektok. Serius. Tapi mari kita lihat secara jernih yaitu apakah tektok ini memang kebutuhan atau sekadar gaya hidup instan yang makin menjamur? Apakah kita benar-benar ingin menikmati alam, atau cuma butuh validasi dari feed Instagram?

Buat yang mau tektok, silakan. Tapi tolong, siapkan fisik, perlengkapan, dan pengetahuan. Hormati jalur pendakian, jaga alam, dan yang paling penting adalah tahu batas kemampuan diri sendiri.

Karena dalam pendakian, bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling sadar bahwa gunung bukan tempat untuk main-main.

(mc/ls)