Mitos Suara Gendang di Gunung Gandang Dewata

dok. http://ksdasulsel.menlhk.go.id/

Mounture.com — Bagi kalian yang hobi melakukan aktivitas di alam bebas, terutama mendaki gunung, pastinya sudah tidak asing dengan beberapa mitos yang ada. Mitos yang ada di setiap daerah kerap kali masih dipercaya oleh sebagian masyarakat.

Biasanya mitos-mitos tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat, dan mereka pun bakal meminta pengunjung kawasannya untuk menaati norma-norma yang ada agar tidak membawa malapetaka bagi masyarakat atau orang lain.

Salah satu gunung yang memiliki mitos ialah Gunung Gandang Dewata yang berada di Provinsi Sulawesi Barat. Gunung dengan ketinggian 3.037 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu memiliki mitos berupa suara gendang yang misterius.

BACA JUGA: Estimasi Mendaki Gunung Gandang Dewata di Sulawesi Barat

Dikutip dari laman Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan, disebutkan bahwa Gunung Gandang Dewata memiliki mitos yaitu apabila ada seseorang yang masuk hutan dengan tujuan entah mengambiil hasil hutan ataupun mendaki, lalu terdengar suara gendang dari puncak gunung berarti orang tersebut sudah meninggal.

Adapun Gunung Gandang Dewata disebutkan dulunya adalah sebuah daratan terendah di Pulau Sulawesi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya batu besar berbentuk perahu yang konon ceritanya adalah milik puteri raja yang kandas di puncak Gunung Gandang Dewata.

Tapi kini Gandang Dewata telah menjadi tanah tertinggi di Sulawesi Barat. Namun, sisa-sisa lautan masih bisa dijumpai, sama seperti gunung tertinggi lainnya.

BACA JUGA: Ini 6 Puncak Gunung di Pulau Sulawesi

Gunung Gandang Dewata adalah salah satu gunung tertinggi yang terletak di kawasan bagian Barat Sulawesi (pegunungan Quarlesi) dan gunung tertinggi kedua di Sulawesi setelah gunung Latimojong (3.478 Mdpl) yang terletak di kabupaten Enrekang.

Di alur pegunungan pegunungan Gandang Dewata terdapat masyarakat Dusun Rante Pongkok Kabupaten Mamasa yang mempertahankan hidupnya dari kegiatan bertani. Secara sosiologis, Gandang Dewata telah memiliki hubungan emosional dengan masyarakat kampung terakhir Desa Rante Pongkok sejak dulu.

Dengan kearifan lokal khas yang mereka miliki, masyarakat Desa Rante Pongkok berusaha untuk melindungi ciptaan Tuhan yang sangat kompleks di hutan tersebut.

Dengan menghubungkan keberadaan turunnya Dewa yang membunyikan gendang yang senantiasa memberikan informasi kepada masyarakat melalui hutan, serta hutan sebagai lahan untuk menunjang hidup maka hutan terlegitimasi secara etik dan moral untuk dijaga dan dicintai. (MC/RIL)