
dok. TNGHS
Mounture.com — Sebanyak 30 ekor Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) dilepasliarkan ke habitatnya di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Bogor, Jawa Barat. Pelapasliaran ini terlaksana atas kerja sama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) Indonesia.
Pelepasliaran kukang ini terbagi ke dalam dua tahap, yang mana tahap pertama sebanyak 15 ekor dilakukan pada Selasa, 15 Desember 2020, dan tahap kedua sebanyak 15 ekor yang dilakukan pada Selasa, 21 Desember 2020 kemarin.
Adapun Blok Mosa, yang berada di wilayah Resort Gunung Salak I, Seksi Pengelolaan TN WIlayah II, TNGHS dipilih sebagai lokasi pelepasliaran berdasarkan penilaian kesesuaian habitat yang telah dilakukan sebelumnya oleh tim dari Balai TNGHS dan Yayasan IAR Indonesia.
Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat, Ammy Nurwati, menjelaskan 30 individu kukang yang dilepasliarkan ini merupakan satwa hasil serahan masyarakat ke sejumlah wilayah kerja BKSDA di Jawa Barat dan dititip rawatkan di Pusat Rehabilitasi Primata milik Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) Indonesia, di Bogor, Jawa Barat.
Menurutnya, sebelum dilepasliarkan kukang ini menjalani proses dan tahapan yang panjang, dimulai dari karantina dan pemeriksaan medis guna memastikan mereka tidak mengidap penyakit, observasi perilaku, pengenalan pakan alami sampai mereka layak, dinyatakan sehat dan siap ditranslokasi untuk jalani habituasi.
“Proses panjang ini harus mereka jalani untuk mengembalikan sifat liar alaminya dan menjamin bahwa mereka bisa survive dan berkembang biak di habitat alaminya,” ungkapnya dalam keterangan resmi, belum lama ini.
Lebih lanjut dia menjelaskan, tahap akhir sebelum pelaksanaan pelepasliaran adalah habituasi. Habituasi atau pembiasaan di rumah sementara adalah proses di mana kukang kukang tersebut ditempatkan di sekitar lokasi pelepasliaran di area terbuka yang dikelilingi jaring dan fiber di dalam kawasan TNGHS.
Di area habituasi itu tumbuh berbagai jenis pepohonan untuk pakan alami dan naungan kukang. Proses habituasi ini memakan waktu selama sekitar dua minggu untuk memberikan waktu kukang tersebut beradaptasi dan mengenal lingkungan barunya.
“Selama masa habituasi ini, tim di lapangan tetap mengamati dan mencatat perkembangan mereka setiap malamnya. Jika selama masa habituasi semua kukang aktif dan tidak ada perilaku abnormal, maka barulah mereka benar-benar bisa dilepasliarkan ke alam bebas,” terang Ammy.
Sementara Kepala Balai TNGHS, Ahmad Munawir, mengatakan pelepasliaran satwa hasil rehabilitasi atau satwa konflik di kawasan TNGHS telah menjadi salah satu program penting dalam rangka penyelamatan satwa liar.
“Kukang merupakan salah satu satwa liar yang memiliki peran penting untuk keseimbangan ekosistem di kawasan TNGHS. Karena itu, pelepasliaran 30 ekor kukang ini menjadi penting dan mengapresiasi semua pihak yang membantu lancarnya kegiatan ini,” ujarnya.
Dia mengatakan, Blok Mosa yang menjadi area rilis ini memiliki ekosistem yang dinilai cocok sebagai tempat pelestarian dan perlindungan terhadap kelangsungan hidup kukang dilihat dari aspek keamanan kawasan, ketersediaan pakan dan naungan, daya dukung habitat serta tingkat ancaman predator.
“Harapannya dengan pelepasliaran ini, kukang-kukang itu dapat berkembang biak dan melangsungkan hidupnya dengan baik,” tutur Munawir.
Sebagai informasi, Kukang atau yang dikenal dengan nama lokal ‘malu-malu’merupakan primata yang dilindungi oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Kukang, primata yang masuk dalam daftar 25 primata terancam punah di dunia ini juga dilindungi oleh peraturan internasional dalam Apendiks I oleh Convention International on Trade of Endangered Species (CITES) yang artinya dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. (MC/RIL)