Mounture.com — Gaya hidup berwisata alam semakin digemari sebagian masyarakat selama era pemulihan pandemi, khususnya wisata alam di kawasan konservasi. Kondisi ini merupakan potensi untuk semakin berkembang karena Indonesia memiliki banyak obyek daya tarik wisata alam. Pengembangan ekowisata atau wisata alam merupakan salah satu pemanfaatan dari kawasan konservasi.
“Dulu sebelumnya pengelolaan Taman Nasional itu menerapkan pola fencing atau dipagari, tidak boleh diapa-apakan. Sekarang kita menginginkan di samping fungsi konservasi, ada pemanfaatan dalam arti jasa lingkungan, dan wisata alam,” tutur Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Cibodas, Jawa Barat, Selasa, 6 April 2021.
Menurutnya, berwisata sembari menikmati keindahan alam juga merupakan salah satu cara penyembuhan yang efektif. Konsep alam sebagai sumber penyembuhan ini dikenal dengan forest healing.
“Masuk ke hutan itu bukan berapa jauh atau berapa langkah yang kita ambil, tapi dengan memaknai setiap langkahnya. Dengan begitu, tidak hanya jasmani, juga dapat memberikan kontribusi terhadap kesehatan jiwa. Memasuki hutan juga dapat melepas stress, dan penat. Dengan melihat keindahan alam, imun juga meningkat,” kata Wamen Alue.
Pada kesempatan tersebut, Wamen Alue mengingatkan tantangan kawasan wisata alam yaitu bagaimana mengelola sampah. Hal ini penting agar para penikmat wisata alam tidak terganggu dengan sampah yang dibuang sembarangan, termasuk di jalur pendakian.
“Apalagi sampahnya yang sulit atau bahkan tidak terurai di alam. Keindahan dan keunikan yang ada di alam, jangan sampai tercemar sampah,” katanya.
Wamen Alue juga berpesan dengan adanya ekowisata bisa menjadi penggerak green economy di Indonesia. Pengelolaan wisata alam pun membuka peluang kerja sehingga berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat, daerah, dan negara.
“Saya kira salah satu peluang Indonesia ke depan dalam rangka menuju green economy. Jadi paradigmanya yang berubah, tidak perlu mengeksploitasi alam lagi, tetapi dengan menerapkan multi environmental services,” ujar Wamen Alue.
Kawasan TNGGP dengan luasan 24.270,8 hektare memiliki banyak potensi. Secara administratif, TNGGP mencakup tiga wilayah yaitu Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Dalam pengelolaannya dibagi menjadi 15 resort, dan masing-masing mempunyai segmentasi pengembangannya.
Dijelaskan Kepala Balai Besar TNGGP Wahju Rudianto, TNGGP merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yaitu Cimandiri, Citarum, Ciliwung, dan Cisadane. Posisinya yang strategis ini menjadikan kawasan TNGGP memiliki fungsi penting dalam pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat sekitarnya.
Dengan curah hujan tahunan mencapai 3.000-4.000 mm, menjadikan TNGGP sebagai sumber air tawar dengan kapasitas 594 milyar liter per tahun.
“Sebagai salah satu dari lima Taman Nasional tertua di Indonesia, kami mempunyai prinsip bahwa dari setiap jengkal kawasan TNGGP, penting untuk diketahui potensinya, termasuk flora dan faunanya, baik di atas maupun di bawah permukaan tanahnya,” ungkap Wahju. (MC/RIL)