Mounture.com — Belakangan, open trip ke gunung semakin marak. Di media sosial, iklan perjalanan “mendaki tanpa repot” berseliweran: cukup transfer biaya, datang sesuai jadwal, lalu semua sudah diurus oleh penyelenggara.
Buat banyak orang, terutama pemula atau pekerja kantoran yang waktunya terbatas, open trip memang terdengar ideal. Tak perlu pusing soal logistik, transportasi, bahkan tenda sudah siap menunggu.
Namun, di balik kenyamanan itu, ada pertanyaan besar, yaitu apakah mendaki lewat open trip benar-benar membangun jiwa pendaki?
Pendaki mandiri biasanya harus riset jalur, mempersiapkan fisik, merancang logistik, hingga mengatur transportasi. Proses ribet ini justru membentuk kesadaran yakni bahwa mendaki bukan sekadar wisata instan, tapi perjalanan penuh tanggung jawab.
Mandiri membuat kita belajar: mengukur kemampuan diri, menghargai tim, dan lebih peduli pada kelestarian gunung.
BACA JUGA: 4 Pesona Gunung Papandayan, Surga Pendakian Ramah Pemula di Garut
Sementara itu, open trip kerap dipandang sebagai “paket wisata alam.” Risiko yang muncul adalah mental konsumen: cukup bayar, semua beres.
Akibatnya, ada peserta yang naik tanpa persiapan fisik, meninggalkan sampah, atau tak peduli aturan lokal. Gunung pun berubah jadi sekadar latar Instagram, bukan ruang belajar hidup.
Bukan berarti open trip sepenuhnya buruk. Ia bisa jadi pintu masuk bagi pemula, tempat belajar dasar pendakian. Tapi setelah itu, sebaiknya ada langkah lanjut yaitu belajar mandiri, menghormati etika naik gunung, dan melepas mental serba dilayani. Karena gunung tidak butuh turis dadakan, melainkan pendaki yang sadar.
Pada akhirnya, baik open trip maupun mandiri punya ruang masing-masing. Open trip cocok untuk pemula yang butuh bimbingan, sementara mandiri adalah level berikutnya, saat kita benar-benar siap berdiri sebagai pendaki, bukan penumpang paket perjalanan.
(mc/ril)