Mounture.com — Dalam dunia pendakian, ada satu fenomena yang makin hari makin bikin geleng-geleng kepala yakni pendaki ilegal. Mereka yang dengan bangganya menabrak aturan, masuk jalur terlarang, merasa paling “petualang sejati”, dan akhirnya bikin repot semua orang.
Pertanyaannya sederhana: Apa yang sebenarnya mereka cari?
Kalau jawabannya cuma “ingin tantangan” atau “biar beda dari yang lain”, jujur saja — itu bukan keberanian, itu kebodohan.
Gunung Bukan Playground Ego
Gunung itu bukan lapangan adu gengsi. Bukan tempat buat unjuk mental sok kuat, apalagi buat konten sosial media demi likes dan pujian murahan.
Setiap jalur resmi pendakian dibuat dengan pertimbangan ekologi, keamanan, dan konservasi. Buka jalur ilegal itu sama saja mengacak-acak rumah satwa liar, merusak vegetasi yang butuh puluhan tahun buat tumbuh, dan memperbesar potensi bencana.
Pendaki ilegal sering kali mengabaikan fakta itu. Mereka pikir, selama bisa sampai puncak, urusan selesai. Padahal, setiap tapak kaki mereka di jalur terlarang adalah luka kecil buat gunung yang mereka akui “dicintai”.
Tak hanya itu, belakangan ini banyak berita menyebutkan beberapa kasus pendaki ilegal melakukan pendakian ke Gunung Merapi. Padahal jelas-jelas gunung itu sedang dalam status ditutup karena peningkatan aktivitas vulkanik.
Ironis, kan? Mengaku cinta gunung, tapi malah ngerusak dan membahayakan diri sendiri serta orang lain.
BACA JUGA: Camping Zaman Now: Nginep di Tenda, Tapi Tetap Estetik
Bikin Repot Banyak Orang
Yang lebih bikin kesel, saat pendaki ilegal tersesat, kehabisan logistik, atau jatuh sakit, siapa yang turun tangan?
Bukan teman-teman sepermainan mereka. Bukan netizen yang ngasih like di Instagram. Tapi tim SAR, relawan, bahkan petugas basecamp yang dari awal sudah bilang: “Jangan masuk jalur itu.”
Mereka harus mengerahkan waktu, tenaga, bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri buat menyelamatkan orang-orang yang sebenarnya bisa tidak perlu diselamatkan kalau saja mereka patuh dari awal.
Lebih parahnya lagi, biaya evakuasi itu besar. Logistik, transportasi, alat medis, semuanya butuh dana. Siapa yang nanggung? Kadang negara, kadang relawan galang dana, sementara si pendaki ilegal mungkin cuma sibuk upload story “dalam pencarian”.
Bukan Tentang Menaklukkan, Tapi Menjaga
Kalau kamu merasa naik gunung itu soal menaklukkan, mungkin kamu salah hobi. Pendakian sejati bukan tentang menguasai puncak. Bukan tentang mengalahkan alam.
Tapi tentang bagaimana caranya kamu selaras dengan gunung — menjaga setiap jalur, menghormati setiap aturan, dan tahu kapan harus melangkah atau mundur.
Peta pendakian Indonesia sekarang sedang penuh dengan bekas luka: jalur erosi baru, sabana gundul karena injakan, sampah di mana-mana. Sebagian besar luka itu bukan dibuat oleh pendaki yang paham etika. Tapi oleh mereka yang merasa gunung adalah milik pribadi.
Kalau gunung bisa bicara, mungkin dia akan bilang, “Lebih baik kamu nggak usah datang sekalian daripada datang bawa rusak.”
BACA JUGA: Makin Banyak yang Mendaki Gunung, Tapi Apa Kabar Gunungnya?
Saatnya Tegas
Sudah saatnya basecamp dan otoritas lebih tegas:
- Pendaki ilegal? Blacklist permanen.
- Evakuasi karena nekat masuk jalur terlarang? Biaya tanggung sendiri.
- Pamer pendakian ilegal di media sosial? Laporkan. Jadikan contoh, bukan malah diidolakan.
Ini bukan tentang anti-petualangan. Ini tentang mempertahankan warisan alam buat generasi berikutnya. Kita harus sadar: gunung bukan hanya untuk kita hari ini. Gunung ada untuk ribuan pendaki lain yang belum lahir.
Kalau kamu benar-benar mencintai gunung, mulailah dari hal sederhana: hormati aturannya. Bukan nekat asal jalan, lalu kabur saat keadaan memburuk.
Karena pendaki sejati itu bukan yang paling berani naik, tapi yang paling tahu kapan dan bagaimana turun, dengan tetap menjaga kehormatan gunung dan dirinya sendiri.
(mc/ls)