Makin Banyak yang Mendaki Gunung, Tapi Apa Kabar Gunungnya?

Mendaki Gunung

Ilustrasi pendaki gunung – Foto: Unsplash.com/Austin Ban

Mounture.com — Ada satu pemandangan yang nggak pernah gagal bikin hati berdesir: langit oranye keemasan, kabut tipis menggantung di lereng, dan sosok-sosok kecil di kejauhan yang sedang berjalan pelan, memburu puncak.

Di era digital ini, pemandangan seperti itu bukan cuma dinikmati secara langsung, tapi juga diburu demi “likes” dan “views” di media sosial.

Mendaki gunung, yang dulunya dianggap sebagai aktivitas ekstrem bagi orang-orang tangguh, kini menjelma jadi gaya hidup yang digandrungi anak muda dari berbagai latar belakang.

Tapi seperti banyak hal indah lain, di balik romantisasi pendakian tersembunyi lapisan-lapisan persoalan yang jarang diulik lebih dalam. Kita perlu lebih dari sekadar sepatu gunung dan kamera untuk memahami esensi naik gunung hari ini.

Dari Healing ke Hiking: Fenomena Mendaki Anak Muda

Buat banyak anak muda, mendaki bukan cuma soal menaklukkan alam, tapi juga mencari ruang untuk bernapas. “Naik gunung itu semacam bentuk detox, bukan cuma dari polusi, tapi juga dari rutinitas yang bikin burnout,” ujar Putri (25), seorang freelancer desain grafis yang pertama kali mendaki saat pandemi mulai mereda.

Data mendukung fenomena ini. Menurut Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), selama libur Lebaran 2025 (28 Maret–7 April 2025) saja, tercatat 4.888 orang mendaki gunung Ciremai.

Angka ini mencerminkan lonjakan minat pascapandemi dan kehausan masyarakat, terutama anak muda, untuk kembali berinteraksi dengan alam.

Gunung tak lagi hanya tempat uji adrenalin. Ia jadi “escape room” alam terbuka yang menawarkan pengalaman spiritual, ruang curhat, sampai tempat jatuh cinta.

Namun, di tengah romantika itu, muncul tantangan baru.

BACA JUGA: Naik Gunung, Tapi Kok Bawa Pulang Masalah?

Tiket Online, Aturan Ketat: Masih Ramah Pendaki?

Kalau kamu pernah mencoba booking jalur pendakian Gunung Gede atau Rinjani, mungkin kamu tahu drama yang sering terjadi yakni situs error, kuota habis dalam hitungan menit, atau syarat administrasi yang bikin dahi berkerut.

Sistem pemesanan online memang dimaksudkan untuk menjaga ekosistem gunung, baik dari sisi konservasi maupun keselamatan. Tapi apakah sistemnya sudah user-friendly?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebenarnya menyebut bahwa digitalisasi sistem booking adalah bagian dari transformasi pengelolaan kawasan konservasi.

Tapi masalah teknis dan keterbatasan akses internet di beberapa wilayah masih jadi penghambat utama. Belum lagi soal calo digital yang diam-diam menjual “jatah booking” lewat jalur tak resmi.

Kenaikan Jumlah Pendaki = Kenaikan Masalah?

Dengan meningkatnya minat, tentu saja angka kunjungan meroket. Gunung Rinjani misalnya, kembali dibuka penuh (100% kuota) sejak April 2025.

Gunung Semeru pun sempat membatasi jumlah pendaki hanya 300 per hari, tetapi animo tetap tinggi hingga terjadi antrean booking setiap akhir pekan.

Lonjakan ini membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, ekonomi lokal menggeliat, seperti porter, homestay, dan warung pendaki makin sibuk. Tapi di sisi lain, kerusakan jalur, peningkatan volume sampah, dan pendakian ilegal meningkat.

“Gunung bukan tempat festival. Tapi sekarang, banyak yang naik kayak piknik massal. Bawa speaker bluetooth, buang sampah sembarangan, bahkan ngeluarin drone di kawasan konservasi,” keluh Farhan, relawan di salah satu basecamp di Gunung Slamet.

Fakta ini bukan sekadar keluhan. Menurut laporan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, sepanjang 2024 ditemukan lebih dari 150 kasus pendakian ilegal dan pelanggaran tata tertib kawasan. Sebagian besar dilakukan oleh pendaki individu atau kelompok tanpa pemandu resmi.

BACA JUGA: Polemik Pendaki FOMO: Naik Gunung demi Feed, Bukan Esensi?

Mendaki dengan Etika, Bukan Ego

Di tengah tren mendaki yang makin hype, seringkali lupa bahwa gunung bukan cuma latar Instagram atau TikTok. Ada ekosistem yang perlu dijaga, kearifan lokal yang mesti dihormati, dan risiko yang tak boleh disepelekan.

Sayangnya, edukasi soal etika mendaki sering tertinggal. Banyak pendaki baru yang hanya belajar dari vlog atau TikTok, tanpa pembekalan dasar soal keselamatan, navigasi, atau mitigasi bencana.

Antara Solusi dan Refleksi

Jadi, harusnya bagaimana?

– Edukasi wajib dan massal: bisa lewat komunitas, sekolah, atau media sosial yang menjangkau anak muda.

– Platform booking yang lebih inklusif: aksesibilitas, transparansi kuota, dan informasi jalur.

– Penegakan aturan yang tegas: termasuk sanksi bagi pendaki ilegal, calo kuota, dan pelanggar etika.

– Kolaborasi lintas sektor: pemerintah, swasta, komunitas, dan media harus kerja bareng.

Kesimpulan

Mendaki bukan hanya soal mencapai puncak. Ia tentang perjalanan mengenali batas diri, menyatu dengan alam, dan belajar jadi manusia yang lebih peduli. Gunung bukan pelarian dari hidup, tapi tempat kita belajar mencintai hidup dengan cara yang berbeda.

Karena pada akhirnya, yang bikin mendaki jadi pengalaman berharga bukan cuma ketinggian yang kita capai, tapi kesadaran yang kita bawa pulang.

(mc/ril/cg)