Mounture.com — Gunung bukanlah kafe instagenik yang bisa dipesan tempat duduknya, apalagi hotel berbintang yang bisa diblok untuk satu rombongan. Tapi belakangan, suasana pendakian justru terasa seperti itu.
Adalah beberapa oknum penyedia jasa open trip (OT) yang datang dengan rombongan besar, menancapkan flysheet, memasang tali pembatas, dan dengan penuh keyakinan mengklaim satu area camp sebagai milik mereka. Dan yang lain? Disuruh minggir.
Ini bukan hanya soal tempat camp. Ini soal etika. Tentang bagaimana ruang publik yang semestinya setara untuk semua malah disulap jadi “hak milik sementara” oleh bisnis wisata.
Tidak ada yang salah dengan jasa OT. Mereka membantu banyak orang mengenal alam, terutama pendaki pemula. Tapi ketika praktik mereka mulai melanggar prinsip dasar pendakian—kesetaraan, solidaritas, dan saling menghormati, di situlah batas harus ditarik.
BACA JUGA:
Warung Legendaris Mbok Yem di Puncak Gunung Ditutup Sementara Mulai 27 Mei 2025
Panduan Transportasi Umum ke Gunung Buthak
Pernahkah mereka berpikir bahwa pendaki mandiri yang mereka usir itu mungkin sudah naik sejak subuh, mendaki dengan logistik sendiri, hanya untuk menemukan spot impian mereka sudah “dibooking”? Atas dasar apa? Uang? Kuota? Koneksi?
Gunung bukan panggung eksklusif. Ia milik bersama. Dan kalau dibiarkan, praktik semacam ini hanya akan memperkuat tren komersialisasi alam yang mengabaikan etika dan keberlanjutan.
Mungkin sudah waktunya pengelola jalur pendakian dan komunitas pecinta alam duduk satu meja. Membuat aturan main yang adil, membatasi jumlah peserta OT, dan melarang segala bentuk monopoli ruang di alam bebas.
Karena jika gunung pun sudah bisa “di-booking”, lalu ke mana lagi pendaki bisa pulang?
(mc/ls)