Mendaki saat Gunung Ditutup: Ketika Ego Mengalahkan Akal Sehat

Ilustrasi pendaki gunung – Foto: Unsplash.com/Austin Ban

Mounture.com — Mendaki gunung sering dianggap sebagai pelarian paling jujur dari hiruk pikuk kota. Udara dingin, pemandangan megah, dan rasa “menaklukkan alam” kerap jadi alasan orang rela berjalan berjam-jam menembus jalur terjal. Tapi di balik romantisme itu, ada satu kebiasaan berbahaya yang terus berulang: mendaki secara ilegal di gunung yang sedang ditutup.

Kasus pendaki ilegal di Gunung Merapi, belum lama ini, kembali menjadi pengingat pahit. Di tengah status penutupan gunung aktif dan imbauan resmi dari pengelola, masih ada pendaki yang nekat naik secara sembunyi-sembunyi. Alasannya klasik: “cuma sebentar”, “sudah sering naik”, atau “kondisinya kelihatan aman”.

Masalahnya, gunung, terutama gunung api aktif seperti Merapi, tidak pernah bisa diprediksi hanya dengan perasaan.

Gunung Ditutup Itu Bukan Formalitas

Penutupan gunung bukan keputusan sepihak atau tanpa dasar. Ada pertimbangan aktivitas vulkanik, cuaca ekstrem, kondisi jalur, hingga keselamatan tim penyelamat. Ketika gunung ditutup, artinya risiko sudah melewati batas aman, bahkan untuk pendaki berpengalaman.

Sebagai contoh, di Gunung Merapi, ancaman bukan cuma erupsi besar. Guguran lava, awan panas, gas beracun, hingga perubahan cuaca ekstrem bisa terjadi tanpa tanda dramatis. Jalur yang tampak “aman” pagi hari bisa berubah jadi area berbahaya dalam hitungan jam.

Mendaki saat gunung ditutup sama saja seperti menerobos lampu merah di persimpangan ramai—bedanya, konsekuensinya bisa fatal dan menyeret banyak pihak.

BACA JUGA: Gunung Suket Bondowoso: Masih Alami dan Minim Pendaki

Ego Pendaki vs Keselamatan Bersama

Pendakian ilegal sering dibungkus dengan narasi heroik: melawan batas, menaklukkan larangan, atau membuktikan diri lebih “kuat” dari aturan.

Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Ketika pendaki ilegal mengalami masalah, tim SAR, relawan, dan petugas gunung harus mempertaruhkan keselamatan mereka untuk melakukan evakuasi.

Ironisnya, saat kondisi gunung ditutup, proses evakuasi justru jauh lebih berbahaya. Risiko berlipat, sumber daya terkuras, dan nyawa orang lain ikut dipertaruhkan demi keputusan egois segelintir orang.

Belum lagi dampaknya pada masyarakat sekitar gunung yang harus ikut menanggung kecemasan, stigma, bahkan potensi penutupan lebih lama akibat ulah pendaki ilegal.

“Pendaki Berpengalaman” Bukan Jaminan Selamat

Salah satu mitos paling berbahaya di dunia pendakian adalah anggapan bahwa pengalaman bisa mengalahkan alam. Sehebat apa pun jam terbang seseorang, gunung aktif tetap tidak bisa dinegosiasikan.

Sejarah pendakian di Indonesia penuh dengan contoh pendaki berpengalaman yang celaka karena meremehkan kondisi. Alam tidak peduli seberapa mahal carrier, seberapa lengkap peralatan, atau seberapa sering kita update di media sosial.

Aturan dibuat bukan untuk membatasi petualangan, tapi untuk memastikan petualangan itu bisa diulang di lain waktu, dengan selamat.

BACA JUGA: 6 Kemampuan Penting yang Wajib Dikuasai Sebelum Mendaki Gunung

Mendaki Itu Tentang Etika, Bukan Sekadar Puncak

Jika mendaki hanya soal mencapai puncak, maka apa pun akan dilakukan, termasuk melanggar aturan. Tapi jika mendaki dipahami sebagai bagian dari etika berinteraksi dengan alam, maka keputusan untuk turun, menunda, atau bahkan membatalkan pendakian justru adalah bentuk kedewasaan.

Gunung tidak ke mana-mana. Puncak akan tetap ada. Yang tidak bisa diganti adalah nyawa manusia.

Kasus pendaki ilegal di Gunung Merapi pada 20 Desember 2025 seharusnya menjadi cermin bersama. Bahwa keberanian tanpa akal sehat bukanlah jiwa petualang, melainkan undangan terbuka bagi bencana.

Mendaki itu soal pulang dengan selamat, bukan sekadar berangkat dengan nekat.

(mc/pd)