Lokomotif Uap Jadi Saksi Perjalanan Perkeretaapian di Indonesia

Foto: KAI

Mounture.com — Di balik kemajuan teknologi dan modernisasi perkeretaapian, terdapat warisan berharga yang terus hidup dalam sejarah PT Kereta Api Indonesia (KAI). Adalah lokomotif uap, saksi bisu dari masa lalu yang telah menjadi simbol ikonik dalam industri kereta api.

Kendati usianya telah berlalu puluhan bahkan ratusan tahun, keberadaan mereka tetap memikat hati masyarakat. Sebelum penggunaan lokomotif diesel dan listrik seperti sekarang, dahulu lokomotif uap menjadi kendaraan utama untuk menarik rangkaian kereta.

Dikutip dari laman KAI, disebutkan bahwa KAI memiliki sejarah panjang dalam penggunaan dan pelestarian lokomotif uap hingga saat ini. Selain menjadi bagian dari sejarah perkeretaapian, penampilan ikonik dan khas dari lokomotif uap juga memberikan daya tarik yang unik.

Berikut beberapa lokomotif uap yang telah dipreservasi KAI dan dalam keadaan aktif.

1. Lokomotif B25

Lokomotif B25 buatan pabrik Esslingen (Jerman) mulai dioperasionalkan pada 1902. Berarti umurnya sudah 100 tahun lebih. Sementara dua kereta penumpang berdinding kayu yang selalu setia menemani lokomotif ini di saat operasional kereta wisata adalah buatan 1907.

Perusahaan kereta api Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) membeli lokomotif ini untuk melayani angkutan militer dan untuk melalui rel bergerigi yang ada di rute Ambarawa – Secang.

Jalur kereta api dari Ambarawa ke Secang (termasuk rel bergerigi rute Jambu-Bedono-Gemawang sepanjang hampir 6,5 kilometer) resmi beroperasi pada 1 Februari 1905.

Lokomotif ini terbilang unik, sebab memiliki roda gigi, di mana fungsi dari roda gigi ini bertugas untuk mengait rel bergerigi yang ada dibawahnya. Posisi roda gigi ini berada di tengah antara roda-roda lokomotif lain yang berbentuk normal.

Keberadaan komponen roda gigi ini sangatlah vital. Penggunaan roda gigi memungkinkan kecuraman 65 permil dapat dilalui meskipun dengan kecepatan rendah 10 kilometer per jam sedang pada jalur mendatar dapat melaju dengan kecepatan 40 kilometer per jam. Pada saat menurun, maka roda gigi berfungsi untuk menahan kecepatan kereta api.

Lokomotif uap B25 mempunyai berat 31 ton dan tekanan boiler 12,25 atm. Lokomotif dengan tenaga 360 ini dapat menampung persediaan air sebanyak dua meter kubik serta kayu 1,5 ton. Kekuatan tarik sebesar 5.340 kilogram sedang ketika menggunakan roda gigi 10.950 kilogram.

Saat ini masih tersisa tiga unit lokomotif uap seri B25 yang masih bisa dijumpai yaitu lokomotif uap B25 02 dan B25 03 yang masih operasional untuk melayani kereta wisata rute Ambarawa – Bedono sedangkan lokomotif uap B25 01 menjadi monumen statis di Monumen Palagan Ambarawa.

BACA JUGA:

Kuota Ludes, Pendaftaran Uji Coba LRT Ditutup

2. Lokomotif B51

Selain lokomotif uap B25 02 dan B25 03, di Ambarawa juga terdapat lokomotif B51 12 yang masih aktif. Perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) membeli lokomotif uap B51 sebanyak 44 buah dari tiga pabrik yang berbeda yaitu Hannoversche Maschinenbau AG atau yang lebih dikenal dengan nama Hanomag (Hannover, Jerman), Sachsische Maschinenfabrik atau yang lebih dikenal dengan Hartmann (Chemnitz, Jerman), dan Werkspoor (Amsterdam, Belanda).

Adapun ke-44 lokomotif B51 didatangkan secara bertahap pada 1900-1910.

Dahulu, Lokomotif B51 digunakan untuk menarik kereta penumpang lokal di rute Tanah Abang – Rangkasbitung – Merak, rute Kertosono – Madiun – Blitar dan rute Babat – Jombang. Untuk memenuhi kebutuhan transportasi kereta api di Sumatera Selatan, maka lima lokomotif B51 milik SS dipindah dari Jawa ke Sumatera Selatan.

Pada masa pemerintah Jepang, satu lokomotif B51 dipindah dari Jawa ke Sumatera untuk melayani jalur kereta api rute Muaro (Sumatera Barat) – Pekanbaru (Riau).

Lokomotif B51 menggunakan bahan bakar kayu jati dan didesain untuk dioperasikan di jalur datar. Lokomotif B51 memiliki daya 450 dengan kecepatan layanan 80 kilometer per jam. Berat lokomotif ini sebesar 31,2 ton dan berat tender 20,6 ton. Dimensi Panjang 14,282 meter, lebar 2,5 meter dan tinggi 3,7 meter.

Walaupun sudah hampir 30 tahun lebih dalam keadaan mati namun kondisi ketel lokomotif B51 12 relatif masih baik. Sehingga kurun tahun 2011-2014 dilakukan resotorasi guna menarik rangkaian Kereta Wisata di Ambarawa.

3. Lokomotif C12

Diproduksi tahun 1892–1902 oleh pabrik Hartmann (Jerman), lokomotif ini bertugas untuk dinas langsir atau lokomotif penarik kereta penumpang atau barang pada rute jarak pendek dan datar di pulau Jawa.

Lokomotif C12 memiliki berat 31,3 ton dan panjang 8,575 meter dengan kecepatan layanan 45 kilometer per jam serta memiliki daya 360. Lokomotif dengan tekanan 10 atm ini memiliki daya tarik 4500 kilogram.

Dari 43 buah lokomotif C12, saat ini masih tersisa tiga buah, yaitu C12 06, C12 18 dan C12 40. C12 06 (mulai operasional 1895) di pajang di museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta). C12 40 (mulai operasional 1891) dipajang di Indonesian Railway Museum Ambarawa (Jawa Tengah). C12 18 sendiri mulai operasional pada 1896.

Pada 2002, lokomotif C12 18 dibawa dari Cepu ke Ambarawa dalam kondisi rusak. Pada awal 2006, mulai diperbaiki dan dirawat dengan teliti sehingga kondisinya pun semakin baik. Pada 3 Juni 2006, lokomotif C12 18 mulai dioperasionalkan setelah hampir 25 tahun dalam kondisi mati.

Pada September 2009, atas permintaan dari Pemerintah Kota Solo, lokomotif uap C12 18 dipindah dari Ambarawa ke Solo untuk dijadikan sebagai penarik Kereta Api Wisata Jaladara dengan rute Purwosari – Solo Kota.

BACA JUGA:

Catat! Ini Jadwal Event di Jawa Tengah pada Juli 2023

4. Lokomotif D14

Lokomotif uap seri D14 merupakan lokomotif uap yang didatangkan oleh Staatsspoorwegen (SS) yang berasal dari dua pabrikan berbeda. Lokomotif D14 bernomor 01 sampai 12 buatan, Hanomag, Hannover, Jerman, sedangkan yang bernomor 13-24 buatan Werkspoor, Belanda. Tahunnya pun berbeda, yaitu buatan tahun 1921 untuk D14 bernomor 01-12, dan tahun 1922 untuk yang bernomor 13-24.

Desain lokomotif D14 yang ringkas ini cocok dioperasikan di lintas lokal dan jalur pegunungan. Jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur hingga Bandung kini tinggal kenangan. Terlebih dengan ditutupnya jalur Bogor-Sukabumi pada 2006. Jalur kenangan itulah yang merupakan lintasan utama lokomotif berbahan bakar batu bara ini.

Lokomotif berbobot 68,66 ton ini memiliki tekanan boiler 12 atm. Melaju dengan kecepatan rata-rata 45 kilometer per jam. Dimensi lokomotif ini ialah panjang 12, 65 meter, lebar 2,7 meter dan tinggi 3,7 meter. Mampu menampung persediaan air sejumlah 9 meter kubik dan penyimpanan batu bara sebesar 3 ton.

Dari total 23 lokomotif D14 yang terdapat di Indonesia. Kini terdapat satu unit yakni D1410 yang saat ini menjadi armada Kereta Wisata Jaladara di Kota Solo yang diresmikan pada 16 Februari 2020.

Sebelumnya, pada 2016 lokomotif ini diboyong dari Museum Transportasi TMII, Jakarta ke Solo. Selepasnya, tahun 2019 dilakukan restorasi di Balai Yasa Yogyakarta.

5. Lokomotif E10

Pada 1894, pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan kereta api Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust (SSS) selesai membangun jalur kereta api yang menghubungkan pelabuhan Emmahaven (Telukbayur) – Padang – Padangpanjang – Muarakalaban – Sawahlunto dengan panjang 155,5 kilometer.

Karena kondisi geografis Sumatera Barat yang berbukit-bukit maka, jalur kereta api pada beberapa lokasi, misal lintas Kayu Tanam – Padangpanjang – Batu Tabal, mesti menggunakan rel bergerigi, yang berfungsi untuk membantu lokomotif untuk menanjak dengan tingkat yang curam.

Salah satu lokomotif yang dibeli oleh SSS adalah Lokomotif uap E10 dilengkapi dengan roda gigi yang bertugas mengait rel bergerigi yang ada dibawahnya. Lokomotif ini didatangkan sejumlah 22 buah pada 1921, 1926 dan 1928 dari pabrik Esslingen (Jerman) dan SLM (Swiss).

Setelah era kemerdekaan Republik Indonesia, Perusahaan Nasional Kereta Api (PNKA) kembali mendatangkan lokomotif uap E10 sejumlah 17 buah pada 1964, 1966 dan 1967 dari pabrik Esslingen (Jerman) dan Nippon Sharyo (Jepang).

Lokomotif Uap E1060 memiliki berat 56,4 ton dengan tekanan boiler 14 atm. Kecepatan layanan 50 kilometer per jam dengan kekuatan tarik 9.000 kilogram. Lokomotif ini berdimensi panjang 10,224 meter dan tinggi 3,714 meter. Guna mendukung operasional dibekali penyimpanan batu bara dua ton dan persediaan air enam meter kubik.

Total lokomotif seri E10 berjumlah 39 dari tiga pabrikan yang berbeda. Kini, tersisi dua unit yakni E1060 “Mak Itam” di Sawahlunto dan E1016 sebagai koleksi di Museum Transportasai, TMII.

Pada 20 Desember 2022 lalu, telah dilaksakanan peresmian pengoperasian kembali Kereta Api Wisata Mak Itam di jalur Sawahlunto – Muaro Kalaban, Sumatera Barat setelah sebelumnya berhenti beroperasi sejak 2014. (MC/RIL)