
Foto: Pemkab Karanganyar
Mounture.com — Berdiri di lereng barat Gunung Lawu pada ketinggian sekitar 910 meter di atas permukaan laut, Candi Sukuh menjadi salah satu situs purbakala paling unik di Indonesia.
Berlokasi di Desa Mberjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, candi ini kerap dijuluki sebagai “The Last Temple”, atau candi terakhir dalam era peradaban Hindu di Jawa.
Dikutip dari laman Pemerintah Kabupaten Karanganyar, disebutkan bahwa julukan tersebut bukan tanpa alasan. Selepas runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15, pembangunan candi-candi Hindu di Jawa nyaris tak lagi ditemukan.
Karena itu, Candi Sukuh sering disebut sebagai saksi terakhir kejayaan Hindu di Jawa, sekaligus penanda peralihan besar dalam sejarah peradaban dan kepercayaan masyarakat Nusantara.
Arsitektur Menyimpang, Penuh Makna
Berbeda dengan candi-candi Hindu di Jawa Tengah pada umumnya, Candi Sukuh dibangun dengan konsep punden berundak atau teras bertingkat, sebuah bentuk yang lebih dekat dengan tradisi megalitikum prasejarah.
Kompleks candi ini terdiri dari tiga teras (trap) yang semakin ke belakang semakin tinggi, menandakan tingkat kesakralan yang meningkat.
Pada teras pertama, pengunjung disambut gapura Paduraksa yang bentuknya menyerupai pylon pada piramida Mesir. Di ambang pintu gapura ini terdapat relief kala berjanggut panjang, figur yang tak lazim ditemukan pada candi Hindu lainnya.
Relief tersebut diyakini sebagai candra sengkala bertuliskan “gapura buta mangan wong”, yang menunjukkan angka tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi, menandai selesainya pembangunan gapura.
Keunikan lain terlihat pada lantai gapura berupa relief lingga-yoni dalam bentuk nyata. Meski kerap dianggap erotis, relief ini sejatinya merupakan simbol kesuburan dan penyucian, lambang Dewa Siwa dan Dewi Parwati.
Relief tersebut diyakini berfungsi sebagai “suwuk” atau sarana ruwatan, untuk membersihkan unsur kotor sebelum memasuki kawasan suci candi.
BACA JUGA: Situ Bagendit, Danau Legendaris di Garut yang Menawarkan Keindahan Alam dan Cerita Rakyat Nyai Endit
Teras Kedua dan Ketiga, Kawasan Paling Sakral
Pada teras kedua terdapat gapura bentar yang kini tidak utuh, serta sebuah arca Dwarapala dengan bentuk sederhana tanpa banyak ornamen.
Sementara itu, teras ketiga merupakan kawasan paling suci, tempat berdirinya candi induk berukuran sekitar 15 x 15 meter. Di atas bangunan batu ini, diperkirakan dahulu berdiri bangunan kayu, ditandai oleh sisa-sisa umpak batu.
Di kawasan ini juga ditemukan berbagai arca binatang seperti kura-kura, garuda, dan gajah, serta arca tokoh raksasa. Salah satu arca garuda memuat prasasti bertahun 1363 dan 1364 Saka (1441–1442 M).
Pada dinding sekitar candi induk terpahat relief Sudamala dan Garudeya, dua kisah suci yang sama-sama mengangkat tema ruwatan atau penyucian.
Cerita Sudamala mengisahkan Sadewa yang berhasil meruwat Bathari Durga, sementara kisah Garudeya menggambarkan perjuangan Garuda membebaskan ibunya, Dewi Winata.
Candi Ruwatan dan Simbol Peralihan Zaman
Berbagai relief, prasasti, dan simbol di Candi Sukuh menegaskan fungsinya sebagai tempat pengruwatan. Prasasti tahun 1379 Saka bahkan secara eksplisit menyebut istilah “pawitra”, yang bermakna pemandian suci atau sarana penyucian jiwa.
Keunikan lain Candi Sukuh adalah bentuk relief yang berani dan simbolis, termasuk relief organ reproduksi manusia yang kerap membuat candi ini dijuluki sebagai candi paling erotis di Indonesia.
Namun, relief tersebut bukanlah penggambaran hawa nafsu, melainkan simbol kesucian hubungan pria dan wanita sebagai sumber kehidupan.
Secara historis, Candi Sukuh diduga dibangun oleh masyarakat pinggiran pelarian Majapahit yang menghindari ekspansi Demak Bintoro.
Hal ini menjelaskan mengapa arsitekturnya menyimpang dari pakem Wastu Widya, kitab arsitektur Hindu, dan justru menampilkan akulturasi kuat antara Hindu dan kepercayaan lokal Jawa kuno.
Monumen Perubahan Peradaban
Ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles, Candi Sukuh sejak itu menarik perhatian banyak arkeolog. Upaya pemugaran dilakukan pada tahun 1917 untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Kini, Candi Sukuh tidak hanya menjadi destinasi wisata sejarah dan budaya, tetapi juga monumen penting perubahan peradaban, penanda transisi dari Hindu ke Islam di Jawa.
Berdiri anggun di lereng Gunung Lawu, sering diselimuti kabut, candi ini terus menyimpan misteri, simbolisme, dan daya tarik spiritual yang memikat wisatawan domestik maupun mancanegara.
(mc/ril)





