Perkembangan Budaya Ngeteh di Indonesia

Foto: Shutterstock/bachtiar.photography

Mounture.com — Selain kopi, masyarakat Indonesia juga memiliki kegemaran meminum teh. Hal ini terbukti dari meningkatnya popularitas atau tren ‘Teh Solo’ di kalangan masyarakat.

Saking populernya, banyak yang menjadikan teh tubruk asli Solo sebagai oleh-oleh atau bahkan untuk dikonsumsi pribadi. Bahkan, banyak kedai-kedai teh yang menambahkan embel-embel “Teh Solo” sebagai salah satu strategi jualan.

Dikutip dari laman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), disebutkan bahwa meningkatnya tren minum teh di Indonesia ini bukanlah hal yang mengejutkan. Apalagi, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil teh terbesar di dunia.

Mengutip dari ekon.go.id, Indonesia memiliki luas lahan perkebunan teh terbesar kelima di dunia dengan luas sebesar 107.905 hektare (2020). Jumlah produksi teh Indonesia pun berada di peringkat ke-8 dunia, yakni sebesar 138.323 ton di tahun tersebut.

Terlepas dari data tersebut, munculnya budaya ngeteh di Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari Belanda pada masa kolonial.

Mengutip dari laman jelajah.kompas.id, munculnya tren ngeteh di Indonesia dimulai sejak masuknya tanaman teh Camellia Sinensis dari Jepang yang dibawa ke Indonesia pada 1684.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada 1827, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai membudidayakan teh dalam jumlah besar.

Tak tanggung-tanggung, di masa tersebut pun pemerintah mendatangkan bibit teh dari Tiongkok untuk ditanam di Kebun Percobaan Cisurupan, Jawa Barat. Hingga akhirnya, tanaman teh semakin berkembang di Pulau Jawa.

BACA JUGA: Perhatikan Hal Ini saat Gunakan Kompor Gas Portable untuk Pendakian

Berawal dari situ, akhirnya teh menjadi salah satu yang wajib ditanam oleh masyarakat Indonesia. Baik di tanah milik pribadi maupun di tanah sewaan. Meski terkesan “memaksa”, namun sejak saat itu teh mulai menjadi bagian hidup masyarakat. Dengan kata lain, seluruh masyarakat bisa menikmati teh dengan bebas tanpa ada batasan umur dan kelas sosial.

Di sisi lain, tidak sedikit yang mengaitkan jika munculnya budaya ngeteh berasal dari Inggris. Alasannya karena Inggris memiliki budaya minum teh di sore hari sambil ditemani kudapan, atau dikenal dengan afternoon tea.

Kenyataannya, budaya ngeteh di Indonesia sudah muncul jauh sebelum itu. Namun, pada zaman dahulu budaya minum teh hanya dilakukan kalangan bangsawan atau keluarga Kerajaan saja.

Salah satu contohnya adalah budaya ngeteh di Kota Solo, Jawa Tengah. Sebelum muncul tren “Teh Solo” dan racikan teh angkringan, ternyata budaya ngeteh di Solo sudah muncul sejak zaman kerajaan.

Mengutip dari laman soloraya.solopos.com, Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengungkapkan, pada zaman dahulu teh selalu disajikan di setiap acara jamuan makan keluarga bangsawan dalam tradisi kerajaan Jawa.

Salah satu buktinya adalah kebiasaan Paku Buwana X yang beberapa kali menjamu Raja Siam dari Thailand dengan menyajikan secangkir teh secara amat santun.

BACA JUGA: Tomoro Coffee Hadirkan Fasilitas Sangrai, Kapasitasnya Hingga 2.400 Ton Biji Kopi

Seiring berkembangnya waktu dan zaman, budaya teh Solo yang awalnya hanya di lingkungan kerajaan mulai tersebar dan berkembang di kalangan masyarakat luas, tanpa memandang status sosial.

Bahkan, saat ini minum teh seakan sudah menjadi kearifan lokal masyarakat Kota Solo. Buktinya bisa dilihat dari banyaknya angkringan-angkringan hingga kedai teh menyajikan racikan teh tubruk yang nikmat.

Selain di Kota Solo, tren budaya ngeteh juga muncul di berbagai daerah di Indonesia. Satu di antaranya ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Berbeda dengan Solo, Yogyakarta punya upacara tradisi minum teh tradisional yang dinamakan tradisi Patehan. Tradisi Patehan dilakukan untuk menjamu keluarga, kerabat, maupun tamu-tamu Sultan.

Meski saat ini Patehan sudah tidak disajikan untuk Raja, namun tradisi ini masih tetap dipertahankan dan dilakukan secara rutin setiap hari.

Budaya ngeteh juga dilakukan di Tegal, Jawa Tengah. Sebagai salah satu daerah penghasil teh, Tegal memilih tradisi menyajikan teh di dalam poci yang terbuat dari tanah liat.

Tradisi teh poci di Tegal merupakan perpaduan seduhan teh kental dengan campuran gula batu. Saat disajikan, teh poci menciptakan cita rasa teh nasgitel, alias panas, legi (manis), dan kenthel (kental).

Tidak kalah menarik, masyarakat Betawi juga memiliki tradisi budaya minum teh yang unik, yakni tradisi Nyahi, sebuah tradisi minum teh pada pagi maupun sore hari.

Tak hanya menyeruput teh tubruk dalam teko kaleng, tradisi minum teh ini juga ditemani dengan gula kelapa. Uniknya, gula kelapa tidak dicampur dalam teh, melainkan digigit terlebih dulu dan dilanjutkan dengan seruput teh tawar hangat.

(mc/ril)