Mounture.com — Naik gunung udah jadi gaya hidup baru. Dari sekadar healing, konten Instagram, sampai pencapaian pribadi. Tapi belakangan, tren yang bikin geleng-geleng kepala ikut naik yaitu pendakian lewat jalur ilegal.
Katanya sih, biar lebih “sepi”, “alami”, atau “menghindari biaya”. Tapi mari kita bedah bareng-bareng, sebenernya lo naik gunung, atau nyusahin orang?
“Bro, Jalur Resmi Penuh!”
Alasan paling sering adalah jalur resmi kuotanya udah habis. Emang, beberapa gunung populer kayak Semeru, Gede, dan Rinjani memberlakukan sistem booking online dengan kuota terbatas.
Tapi bukan berarti itu tiket sah buat ngibrit lewat jalur tikus. Jalur resmi dibatasi bukan buat nyiksa pendaki, tapi justru buat ngatur daya dukung alam. Gunung juga bisa “capek” kalau dijejali manusia tiap akhir pekan.
Jalur ilegal itu bukan jalur yang disediakan cuma “buat yang ngerti”. Itu jalur yang nggak dimonitor, nggak ada rambu, dan paling bahaya adalah nggak ada sistem evakuasi kalau lo kenapa-kenapa.
BACA JUGA: Estimasi Biaya Pendakian Gunung Sumbing via Banaran
“Gue Pengen Petualangan Sejati”
Ini nih, romantisasi yang suka kebablasan. Nggak sedikit yang nganggep jalur ilegal sebagai “pendakian anti-mainstream”. Padahal kalau dipikir, adrenalin yang lo rasain itu dibangun dari minimnya tanggung jawab.
Lo masuk kawasan konservasi tanpa izin, lewatin jalur yang bisa ngerusak ekosistem, dan kalau terjadi insiden, lo nyeret nama relawan SAR buat turun tangan. Jadi, petualangan siapa yang lo cari?
Mau jujur dikit? Kadang, di balik alasan “petualangan”, ada ego yang pengen beda sendiri, pengen dibilang keren, dan pengen shortcut ke eksistensi sosial.
Padahal naik gunung tuh bukan cuma soal mencapai puncak, tapi tentang saling menjaga dan menghormati alam serta orang lain yang terlibat.
BACA JUGA: Wisata Hutan di Malang: 4 Destinasi Alam Sejuk Wajib Dikunjungi
“Gue Nggak Ngerusak, Cuma Lewat Doang”
Ini alasan klasik. Tapi justru karena “cuma lewat doang” itu, jalur ilegal makin terbentuk. Semakin banyak yang lewat, makin terlihat seperti jalur alami.
Padahal hutan punya aturan sendiri. Satu jalur kecil bisa jadi akses satwa liar, atau punya vegetasi langka yang sensitif sama injakan manusia.
Bahkan tanpa sadar, lo bisa nyebar bibit gulma dari sepatu atau perlengkapan, yang bisa merusak ekosistem lokal. Jadi, nggak semua yang terlihat “alami” itu bebas dilewati manusia. Ada yang memang harusnya dibiarkan liar.
Ada Banyak Cara Bertanggung Jawab
Kalau memang cinta alam, ya hormati aturannya. Banyak gunung lain yang masih buka, jalur resmi yang legal, atau kalau pengen eksplorasi, ikut ekspedisi ilmiah atau kegiatan konservasi. Di sana lo bisa ngerasain sisi liar gunung dengan pengawasan dan kontribusi yang nyata.
Dan kalau lo pengen naik gunung tanpa ribet, ya siapin dari jauh-jauh hari. Booking, patuhi kuota, dan tetap jaga etika. Ingat, alam bukan cuma buat lo doang. Dia tempat hidup banyak makhluk, dan harus dijaga bareng-bareng.
Gunung Bukan Milik Ego
Naik gunung lewat jalur ilegal bukan tanda lo berani, tapi tanda lo nggak peduli. Keberanian sejati itu soal tahu risiko dan bertanggung jawab.
Jadi, kalau lo masih mikir pendakian ilegal itu cara keren buat lebih dekat sama alam… mungkin yang perlu didekati dulu adalah kesadaran diri.
(mc/ril)