Mounture.com — Kalau mendaki gunung cuma sekadar soal sampai ke puncak, kenapa nggak naik helikopter aja? Tiba lebih cepat, tenaga nggak habis, foto tetap keren. Tapi tentu saja, semua pendaki tahu bahwa bukan itu esensinya.
Banyak orang bilang, “yang penting sampai puncak.” Tapi lama-lama, kalimat itu terasa agak sempit. Mendaki gunung, apalagi di negeri seindah Indonesia, bukan kompetisi siapa yang paling cepat atau siapa yang duluan sampai puncak. Ini bukan lomba. Ini perjalanan.
Serius. Puncak memang jadi tujuan, tapi bukan satu-satunya alasan kenapa kita rela bawa tas carrier belasan kilo, tidur di tenda dengan hawa dingin menggigit, dan menahan lapar gara-gara mie instan tinggal satu bungkus. Kenapa kita terus melangkah meski dengkul mulai gemetar? Karena sepanjang perjalanan itu, kita belajar banyak hal.
Belajar sabar. Belajar saling jaga. Belajar ngatur napas dan ego. Belajar bahwa alam itu besar dan kita cuma segelintir debu yang beruntung bisa menikmatinya.
BACA JUGA:
Warna Hitam Kurang Direkomendasikan untuk Pendakian, Ini Alasannya
Rekomendasi Merek Alat Outdoor Murah dan Berkualitas di Indonesia
Kadang, justru momen-momen kecil di tengah perjalanan yang paling berkesan: ketawa bareng teman satu tenda, ngopi sambil lihat kabut turun pelan-pelan, atau momen ketika semua diam di puncak sabana karena saking kagumnya sama pemandangan. Momen-momen itu nggak bisa digantikan.
Sayangnya, makin ke sini, ada kecenderungan pendakian jadi ajang pembuktian diri. Pamer peralatan terbaru, buru-buru tebar foto di Instagram, atau yang lebih parah yaitu buang sampah sembarangan karena merasa sudah “menaklukkan” gunung.
Padahal siapa yang ditaklukkan? Gunung nggak minta ditaklukkan. Gunung tetap berdiri, terlepas dari siapa yang mendaki. Justru kita yang harus belajar tunduk pada alam.
Ini kenapa penting untuk sadar bahwa mendaki bukan soal ego, tapi soal etika. Bukan soal siapa paling cepat, tapi siapa yang paling peduli.
Mendaki gunung itu soal perjalanan, fisik dan batin. Setiap langkah, setiap peluh, dan setiap lelah adalah bagian dari proses kita mengenal diri sendiri.
Ada orang yang gagal sampai puncak tapi pulang dengan cerita paling utuh. Ada juga yang sampai puncak, tapi lupa arti perjalanan itu sendiri.
Jadi, kalau kamu suatu hari harus balik arah sebelum puncak karena cuaca buruk, sakit, atau alasan apa pun, jangan kecil hati. Kamu tetap pendaki. Kamu tetap belajar. Karena gunung mengajarkan kita satu hal penting: tahu kapan harus maju, dan tahu kapan harus berhenti.
Dan itu, jauh lebih penting daripada sekadar sampai puncak.
(mc/ril)