Legenda Gunung Mekongga: Kisah Burung Raksasa Kongga’a dan Pahlawan Tasahea di Sulawesi Tenggara

Legenda Gunung Mekongga

Foto: Perpustakaan Digital Budaya Indonesia

Mounture.com — Gunung Mekongga, gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara, ternyata menyimpan kisah legenda yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Kolaka. Nama Mekongga berasal dari kata Kongga’a, seekor burung elang raksasa yang dahulu dikisahkan mendiami kawasan pegunungan tersebut.

Menurut cerita rakyat yang dihimpun oleh Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, burung Kongga’a merupakan makhluk buas yang membuat kekacauan di wonua Sorume (kini wilayah Kolaka).

Setiap hari burung ini mencuri hewan ternak dan menebar ketakutan di kalangan penduduk. Warga Sorume pun khawatir, suatu hari makhluk raksasa ini akan memangsa manusia.

Larumbalangi, Sang Penolong dari Negeri Sorumba

Dalam keadaan terdesak, para tetua Sorume mengirim utusan ke negeri Sorumba (sekarang Belandete) untuk meminta bantuan dari Larumbalangi, seorang pandai yang sakti mandraguna. Larumbalangi dikenal memiliki pusaka berupa sebilah keris dan selembar sarung yang dapat membuatnya terbang.

Setelah mendengar keluh kesah para utusan, Larumbalangi memberi saran untuk melawan Kongga’a menggunakan strategi bambu runcing beracun.

“Kumpulkanlah bambu tua, buat ujungnya menjadi runcing dan olesi dengan racun. Pagari seorang pemberani di tengahnya. Jika Kongga’a menyerang, ia akan tertusuk bambu beracun,” ujar Larumbalangi seperti dikutip dari Perpustakaan Digital Budaya Indonesia.

BACA JUGA: Tahura Raden Soerjo, Penjaga Hulu Sungai Brantas dan Ketahanan Air Jawa Timur

Tasahea, Sang Pemberani dari Loeya

Sekembalinya ke Sorume, para tetua adat menggelar sayembara mencari laki-laki pemberani untuk dijadikan umpan melawan Kongga’a. Ratusan pendekar datang dari berbagai negeri, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa. Setelah melalui ujian berat, terpilihlah seorang rakyat jelata bernama Tasahea dari negeri Loeya.

Tasahea berdiri seorang diri di tengah pagar bambu runcing beracun di Padang Bende. Saat cuaca tiba-tiba menjadi mendung, burung Kongga’a pun datang menyerang.

Namun sayapnya tertusuk bambu beracun. Melihat kesempatan itu, Tasahea menikam dada burung raksasa tersebut hingga roboh. Kongga’a sempat terbang tinggi sebelum akhirnya jatuh dan mati di sebuah gunung — yang kelak dikenal sebagai Gunung Mekongga.

Wabah dari Bangkai Kongga’a dan Doa Larumbalangi

Kemenangan rakyat Sorume tidak berlangsung lama. Bangkai burung Kongga’a menimbulkan wabah penyakit karena mencemari lingkungan dan menumbuhkan belatung.

Banyak warga meninggal dunia dan tanaman pun rusak. Para tetua kembali mengutus orang ke negeri Sorumba untuk meminta pertolongan Larumbalangi.

Mendengar hal itu, Larumbalangi berdoa agar Tuhan menurunkan hujan deras selama tujuh hari tujuh malam. Doanya terkabul, hujan besar melanda Sorume dan menghanyutkan bangkai Kongga’a serta seluruh ulat penyebab penyakit. Setelah banjir surut, negeri Sorume kembali damai.

Penghormatan untuk Pahlawan dan Pemimpin Bijak

Sebagai penghargaan atas jasanya, Tasahea diangkat menjadi bangsawan, sementara Larumbalangi menjadi pemimpin negeri Sorume. Untuk mengenang peristiwa tersebut, gunung tempat jatuhnya burung raksasa Kongga’a diberi nama Gunung Mekongga, simbol keberanian dan pengorbanan rakyat Sorume.

(mc/ril)