
Foto: Instagram/@gunungleusernationalpark
Mounture.com — “Kalau ada surga buat pecinta alam liar, mungkin pintunya ada di Leuser,”. Begitu kata seorang porter tua yang kami temui di kaki gunung.
Awalnya terdengar seperti bualan. Tapi setelah seminggu menyusuri belantara Gunung Leuser, kami paham bahwa ini bukan tempat biasa.
Leuser: Lebih dari Sekadar Taman Nasional
Buat banyak orang, nama Gunung Leuser mungkin hanya muncul di pelajaran geografi atau sepintas di berita soal harimau Sumatera. Tapi bagi para pencinta alam sejati, Leuser adalah jantung liar Pulau Sumatera.
Sebuah bentang alam raksasa seluas lebih dari dua juta hektare, rumah bagi spesies langka seperti orangutan, badak Sumatera, harimau, dan gajah.
Masuk ke kawasan ini bukan sekadar naik gunung, ini ekspedisi. Hutan hujan tropisnya tak mengenal kompromi: lembap, lebat, dan penuh misteri.
BACA JUGA: 7 Tempat di Indonesia yang Tetap Asik saat Low Season
Jalur Ekspedisi: Dari Bukit Lawang hingga Kedalaman Rimba
Kami memulai perjalanan dari Bukit Lawang, desa kecil di tepian Taman Nasional Gunung Leuser. Dari sini, ekspedisi biasanya dilanjutkan dengan jalan kaki, melintasi sungai, menembus rimbunnya pohon-pohon raksasa, dan tidur di bawah tenda dengan suara jangkrik dan siamang jadi pengantar tidur.
Ada dua jenis ekspedisi yang bisa dipilih, yaitu trekking ringan 2–3 hari untuk melihat orangutan dan menjajal hutan, dan ekspedisi penuh 7–14 hari bagi mereka yang ingin benar-benar masuk ke “perut” Leuser.
Kami pilih yang kedua. Capek? Jelas. Tapi begitu mata bertemu mata dengan orangutan liar yang bergelantungan 5 meter di atas kepala, semua lelah rasanya lunas.
Surga, Tapi Tak untuk Semua Orang
Leuser bukan untuk wisatawan sembarangan. Ini bukan tempat untuk swafoto 10 menit lalu pulang. Ini bukan gunung yang bisa didaki dengan sepatu kets dan speaker bluetooth. Leuser butuh niat, persiapan, dan respek.
Cuaca tak bisa ditebak, lintah ada di mana-mana, dan sinyal? Lupakan.
Tapi di balik semua itu, ada hadiah besar yaitu koneksi utuh dengan alam. Air terjun tersembunyi, danau sunyi, jejak harimau di tanah basah, hal-hal yang tak bisa dibeli, hanya bisa dialami.
BACA JUGA: Mbok Yem: Penjaga Rasa dan Cerita di Puncak Gunung Lawu
Alam vs. Industri: Pertarungan yang Masih Panas
Tapi Leuser juga sedang di ujung tanduk. Ekspansi perkebunan sawit, pembukaan jalan, dan perburuan satwa terus menggerus jantung hijaunya.
Tahun 2023, sebagian wilayahnya sempat menjadi perdebatan internasional karena pembangunan PLTA di kawasan sensitif ekologi.
Ironisnya, semakin banyak orang mendaki dan masuk ke Leuser, justru makin besar tanggung jawab untuk menjaganya. Ekowisata bisa jadi harapan, asalkan dikelola dengan benar, tak sekadar mengejar cuan.
Tips buat yang Mau Coba Ekspedisi Leuser
1. Gunakan pemandu lokal resmi. Mereka tahu jalur, dan keberadaan mereka bantu ekonomi setempat.
2. Jangan tinggalkan jejak. Sampah plastik? Bawa turun.
3. Siapkan fisik dan mental. Ini bukan tempat buat coba-coba.
4. Belajar soal fauna dan flora Leuser. Supaya kamu tahu kenapa tempat ini pantas diperjuangkan.
Kesimpulan
Gunung Leuser bukan sekadar gunung. Ia adalah laboratorium hidup, tempat makhluk-makhluk langka bertahan, tempat hutan masih bicara dalam bahasa purba.
Buat yang berani masuk ke dalamnya, Leuser bukan cuma menyuguhkan keindahan. Ia mengajarkan kerendahan hati, ketahanan, dan rasa hormat pada kehidupan yang tak selalu terlihat, tapi nyata.
Kalau kamu mencari petualangan yang mengubah cara pandangmu tentang alam, Leuser menunggu. Tapi datanglah bukan sebagai penakluk. Datanglah sebagai tamu.
(mc/pd)