Mounture.com — Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno meyakini kehadiran sistem Surebro! (Surveilance, Response, dan Broadcast) yang dikeluarkan oleh Biro Komunikasi Kemenparekraf mampu menanggulangi isu-isu yang memicu krisis kepariwisataan secara cepat dan akurat.
Sandiaga, mengatakan bisnis pariwisata adalah bisnis reputasi yang dirasakan oleh wisatawan melalui persepsi penginderaan. Sehingga, ketika reputasi tersebut terganggu oleh suatu hal yang kurang sesuai dengan persepsi wisatawan, maka hal tersebut akan memicu terjadinya krisis kepariwisataan.
“Krisis reputasi adalah pintu awal ancaman krisis kepariwisataan. Jika ada berita buruk yang menimbulkan ketidakpastian dan kegelisahan seperti saat pandemi, ini harus segera kita atasi,” katanya melalui keterangan resmi.
Salah satu upaya mencegah terjadinya krisis tersebut, lanjut Sandiaga, adalah komunikasi yang strategis yang mampu mengurangi dampak negatif dari krisis kepariwisataan dan meredam kegelisahan berbagai pihak, terutama wisatawan dan pelaku parekraf.
Untuk itu, kehadiran sistem Surebro! yang dikeluarkan oleh Biro Komunikasi Kemenparekraf/Baparekraf diyakini mampu menanggulangi dampak dari krisis kepariwisataan seperti yang terjadi saat pandemi covid-19.
BACA JUGA:
Indonesia Raih Penghargaan Best Tourism Village 2023 dari UNWTO
Liburan Murah ke Yogyakarta, 3 Hari 2 Malam Cuma Rp500 Ribuan
“Ini tentunya akan memperkuat sinergi dan kolaborasi lintas kementerian/lembaga dan narasi yang baik di tingkat pariwisata daerah sehingga (krisis) ini bisa ditangani bersama-sama,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi Kemenparekraf I Gusti Ayu Dewi Hendriyani, menjelaskan Sistem Manajamen Terpadu Komunikasi Krisis Surebro! adalah terobosan baru untuk organisasi Kemenparekraf yang memiliki lima nilai inovasi yaitu terciptanya sistem manajemen yang terpadu, kebaharuan, penyesuaian pada struktur organisasi, berkelanjutan, dan sesuai dengan nilai-nilai organisasi Kemenparekraf.
Pemanfaatan sistem Surebro! dalam menanggulangi krisis kepariwisataan dilakukan melalui tiga langkah, yaitu:
1. Surveilance, dengan melihat sentimen publik melalui crisis detection analysis (CDA) dan media monitoring. Selanjutnya, potensi-potensi tersebut dikategorikan menjadi tiga dampak terhadap sektor parekraf, yaitu rendah (low), menengah (medium), dan tinggi (high).
2. Response, dengan strategi asesmen risiko krisis, tindakan pada 15 menit, 30 menit, dan satu jam pertama, serta tindakan ketika krisis berlanjut sampai pada penyiapan press release.
3. Broadcast, dengan amplifikasi pada owned media dan paid media Kemenparekraf, PR-ing, dan Forum Manajemen Krisis Parekraf daerah
“Salah satu produk monitoring yang kami miliki di komunikasi krisis adalah Crisis Detection Analysis. Jadi ini adalah pemantauan kami terhadap isu-isu di sektor parekraf dan yang kami deteksi potensi krisisnya ke depannya dan kemudian kami mitigasi sejak dini sebelum isu tersebut semakin besar dengan menyusun rekomendasi tindak lanjut manajemen komunikasi krisis dengan output seperti standby statement, press release, infografis, maupun poster,” ujar Dewi.
(mc/ril)