
Foto: Greenpeace Indonesia
Mounture.com — Greenpeace Indonesia menyesalkan debat calon wakil presiden (Cawapres) yang berlangsung Minggu, 21 Januari 2024 tidak ada komitmen yang komprehensif, jelas, dan terukur untuk mengatasi krisis iklim.
Greenpeace menilai para cawapres gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim, yaitu alih fungsi lahan dan sektor energi dengan masifnya penggunaan batu bara.
“Dari debat semalam, kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden,” kata Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak melalui keterangan resmi.
Menurutnya, Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud MD juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama.
Ia mengatakan, watak ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini telah memicu banyak masalah, mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria.
BACA JUGA: Ini Calon Presiden Indonesia yang Pernah Mendaki Gunung
Kemudian merampas hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal hingga masyarakat pesisir, merusak hutan dan lahan gambut, serta mencemari lingkungan, membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara sekaligus memperparah krisis iklim.
Dalam isu reforma agraria, lanjut Leonard, para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN).
“Cawapres 02 dan 03 misalnya, hanya terbatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah,” ujar dia.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023, melonjak eskalasinya dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.
Ketiga cawapres juga berjanji melindungi masyarakat adat dan wilayah adat, termasuk dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Greenpeace menilai janji semacam itu selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu, tetapi keengganan politik dari presiden terpilih dan partai politik pendukungnya selama ini menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika.
“Tanpa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN yang merampas wilayah masyarakat adat, janji itu cuma akan jadi omong kosong saja,” tutur Leonard.
BACA JUGA: Berkelana Gunakan Sleeper Bus ke Jakarta dari Malang
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2015-2022 angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare (per 2022).
Sepanjang 1992-2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua yang dibuat Menteri Kehutanan. Total pelepasan kawasan hutan ini seluas 1,5 juta hektare dan 1,1, juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut.
Selain itu, kebakaran hutan dan lahan gambut juga masih terjadi saban tahunnya. Pada 2023 saja, angka kebakaran lahan dan hutan mencapai 1,16 juta hektare, tapi sayangnya luput dari pembahasan debat cawapres.
Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, menuturkan bahwa para cawapres tidak menyinggung masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut.
“Perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat. Memang ada yang menyinggung tentang masyarakat pesisir dan nelayan, tapi mereka tidak menjabarkan bagaimana agenda mitigasi dan adaptasi iklim bersama warga yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil–yang makin terjepit dampak krisis iklim,” kata dia.
Fakta lainnya, lanjut Khalisah, keanekaragaman hayati laut Indonesia juga terancam dengan praktik ekonomi ekstraktif dan tekanan pembangunan berbasis darat. “Padahal Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi 30 persen kawasan dan keanekaragaman hayati laut kita pada 2030,” ungkapnya.
BACA JUGA: LindungiHutan dan Mitra Penggerak Telah Tanam 700 Ribu Pohon
Pada isu energi, tiga cawapres tidak menyinggung secara detail rencana percepatan transisi ke energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi batu bara.
Padahal, transisi energi sangat krusial untuk memangkas emisi karbon dan menekan kenaikan suhu Bumi. Demokratisasi energi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses transisi energi juga luput dari pembahasan.
Potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.643 GW, menurut data Dewan Energi Nasional. Namun pemanfaatannya baru 0,3 persen. Dalam bauran energi nasional, porsi energi terbarukan baru mencapai angka 13,1 persen dari target 23 persen di tahun 2025.
“Para kandidat juga tak membahas rencana pensiun dini PLTU batu bara, meski program itu tertuang dalam dokumen visi-misi paslon 01 dan 02. “Absennya isu batu bara ini patut kita pertanyakan. Apa memang dihindari karena masing-masing paslon juga didukung oligarki batu bara?,” kata Leonard.
Riset Greenpeace dan CELIOS menemukan bahwa peralihan ekonomi ekstraktif ke ekonomi hijau akan menambah Rp4.376 triliun ke output ekonomi nasional.
Transisi untuk meninggalkan sektor ekstraktif juga mampu membuka lapangan kerja yang lebih luas dan mampu menyerap 19,4 juta orang. Salah satu sektor penyerapan tenaga kerja terbesar adalah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang mencapai 3,9 juta tenaga kerja lewat pengembangan kemandirian ekonomi di level desa.
“Kita telah menyaksikan debat cawapres yang mengangkat isu lingkungan dan krisis iklim. Terlepas dari keputusan untuk memakai atau tidak memakai hak pilih di Pemilu 2024 ini, kami mengajak para pemilih untuk menimbang dengan rasional dan hati-hati. Sebab jika kita salah memilih, masa depan Bumi dan generasi hari ini dan yang akan datang akan terancam. Itulah kenapa kami menggaungkan kampanye #SalahPilihSusahPulih,” tutup Khalisah.
(mc/ril)