
Foto: Instagram/@pendakilawas
Mounture.com — Aktivitas tambang pasir dan batu di lereng Gunung Slamet kembali menjadi sorotan usai viral di media sosial.
Kegiatan penambangan yang semakin masif di kawasan Limpakuwus, Baturaden, hingga Gandatapa dinilai memperparah kerusakan lingkungan di hulu. Warga menilai kondisi ini seolah menjadikan kawasan tersebut sebagai “ladang eksperimen” sebelum bencana datang.
Truk-truk bermuatan berat terus melintas setiap hari, membuat jalan rusak dan berdebu. Di sejumlah titik, hutan gundul dan lahan terkoyak dibiarkan tanpa pemulihan. Warga menyebut resapan air kian hilang, sementara risiko longsor dan banjir bandang meningkat.
“Jangan sampai Gunung Slamet jadi Tapanuli ke-2,” kata seorang warga. Namun peringatan tersebut tampaknya belum cukup untuk menghentikan praktik penambangan yang terus berjalan.
BACA JUGA: Pelabuhan Krueng Geukueh Jadi Jalur Utama Distribusi Bantuan Banjir Aceh
Di wilayah Tajur, Pancurendang, dan Ajibarang, aktivitas tambang ilegal disebut tetap beroperasi meski telah dipasang papan larangan. Ketiadaan pengawasan yang efektif membuat praktik ini sulit dihentikan.
Tragedi pun terjadi. Delapan pekerja tewas tertimbun longsor, menambah panjang daftar risiko yang selama ini telah dikeluhkan warga. Peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa penegakan aturan belum berjalan optimal.
Situasi di lapangan memperlihatkan perpecahan di masyarakat. Sebagian warga menolak tambang karena mengancam keselamatan dan lingkungan, sementara sebagian lainnya mempertahankan tambang dengan alasan ekonomi.
Di sisi lain, pemodal besar diduga intens mengurus perizinan, bahkan disebut lebih mudah masuk ke lokasi dibanding warga yang terdampak langsung.
BACA JUGA: Peran Pohon bagi Lingkungan, Ekosistem, dan Kehidupan Manusia: Solusi Alami yang Penting untuk Bumi
Selain aktivitas tambang, rencana pengoperasian kembali PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) memicu kekhawatiran baru.
Penanaman pohon produksi sebagai bagian dari program rehabilitasi juga mendapat sorotan, karena dianggap tidak sejalan dengan karakter hutan asli Gunung Slamet.
Tekanan lingkungan di kawasan Gunung Slamet dinilai sudah mencapai tahap kritis. Warga berharap ada langkah tegas dari pemerintah sebelum terjadi bencana besar yang tak bisa dikompromikan.
“Peringatan alam tidak datang dua kali,” ujar salah satu tokoh masyarakat.
(mc/ril)





