
Ilustrasi Pendaki Gunung – Foto: IST
Mounture.com — Belakangan ini, dunia pendakian semakin banyak diminati, tetapi bukan cuma karena jumlah pendaki yang bertambah, melainkan karena munculnya fenomena baru yaitu pendaki FOMO (Fear of Missing Out) atau orang yang takut ketinggalan sesuatu. Yup, pendaki yang naik gunung bukan karena cinta alam, tapi karena takut ketinggalan tren.
Kalau dulu orang naik gunung buat “menyatu dengan alam”, “mencari ketenangan”, atau “melawan diri sendiri”, sekarang motivasinya lebih condong ke “biar keren di Instagram atau TikTok”. Gunung jadi semacam latar foto atau video estetik yang diburu demi engagement.
Pendaki vs Content Creator
Nggak ada yang salah dengan mengabadikan momen di gunung. Siapa sih yang nggak mau punya dokumentasi keren pas di atas awan? Tapi yang jadi masalah, ketika tujuan utama berubah.
Dari yang awalnya ingin menikmati alam, jadi cuma ingin konten semata. Mulai dari bawa outfit ganti, tripod, sampai sibuk bikin reels atau konten TikTok di puncak. Akibatnya? Kadang lupa jaga etika di alam bebas serta keselamatan diri sendiri maupun orang lain.
Sudah banyak kejadian, seperti buang sampah sembarangan, bawa sound system ke puncak, bikin api unggun di tempat terlarang, bahkan nginjek tanaman liar buat dapat angle foto yang kece atau mendaki dengan persiapan yang minim. Semua demi “konten yang aesthetic”, tapi lupa bahwa gunung bukan studio foto.
BACA JUGA: Detail Pendakian Gunung Sumbing via Batursari
Alam Jadi Korban Eksistensi
Pendaki FOMO sering kali minim edukasi. Mereka naik karena “ikut-ikutan”, bukan karena memahami apa itu konservasi alam. Akhirnya, jalur pendakian jadi rusak, ekosistem terganggu, dan yang lebih parah yaitu nilai spiritual dan budaya dari gunung itu sendiri jadi terpinggirkan.
Gunung itu sakral bagi sebagian masyarakat adat. Tapi kadang, karena saking inginnya viral, pendaki FOMO bisa seenaknya bersikap. Lompat-lompat di batu suci, teriak-teriak di puncak, atau malah bikin prank konyol demi views. Ironis, bukan?
BACA JUGA: Mengenal Perbandingan Gunung Raung dan Gunung Ruang
Antara Tren dan Tanggung Jawab
Sebenarnya, nggak ada salahnya kok naik gunung karena terinspirasi media sosial. Yang salah itu kalau kita cuma ikut-ikutan tanpa tahu batas bahkan tidak menguasai “sedikit” ilmu mengenai kegiatan di alam bebas.
Naik gunung itu bukan cuma soal kuat fisik, tapi juga soal sadar tanggung jawab. Alam itu bukan tempat buat “menang gaya”, tapi ruang untuk belajar rendah hati.
Kalau memang niat naik karena penasaran, itu sah-sah aja. Tapi pastikan kita juga paham etika dasar pendakian, seperti bawa turun sampahmu sendiri, hormati sesama pendaki, dan jangan merusak alam hanya untuk sekadar konten. Jangan sampai rasa FOMO bikin kita jadi “pengganggu” di rumahnya alam.
Jadilah Pendaki yang Sadar
Yuk, kita jadi pendaki yang sadar. Nggak cuma ngejar foto atau video keren, tapi juga meninggalkan jejak kebaikan. Naik gunung itu bukan soal siapa yang paling cepat sampai puncak atau paling aesthetic di timeline. Tapi siapa yang bisa pulang dengan selamat, hati lebih bersih, dan gunung yang tetap lestari.
Karena pada akhirnya, gunung nggak butuh eksistensi kita di media sosial, tapi kita yang butuh alam tetap ada untuk bisa terus bernapas dan merasa hidup.
(mc/ls)