Pendaki Cilik: Antara Kebanggaan atau Egois?

Mounture.com — Di tengah ramainya dunia pendakian, ada satu tren yang cukup menarik perhatian yakni anak-anak kecil atau sering disebut pendaki cilik yang ikut mendaki gunung. Lucu? Iya. Gemesin? Banget. Tapi… aman nggak, ya?

Mungkin kamu pernah lihat di media sosial, bocah umur 6 atau 7 tahun atau bahkan di bawah umur tersebut dengan tas kecil di punggung, senyum sumringah, berdiri di puncak gunung bareng orang tuanya.

Caption-nya biasanya gini: “Alhamdulillah, si kecil sudah sampe puncak di usia 7 tahun. Luar biasa semangatnya!” yang langsung disambut ribuan likes dan komentar pujian.

Tapi di balik itu semua, ada hal yang layak dipikirkan lebih dalam yaitu apakah anak-anak itu benar-benar siap secara fisik dan mental untuk mendaki gunung? Atau ini cuma ambisi atau keegoisan orang tuanya yang haus pencapaian dan pengakuan?

Mendaki Itu Bukan Mainan

Kita semua tahu, naik gunung bukan aktivitas ringan. Butuh fisik yang kuat, mental yang stabil, dan kemampuan membaca situasi alam. Bayangin aja, orang dewasa aja bisa tumbang karena hipotermia atau kram di tengah jalur, apalagi anak kecil?

Emang ada beberapa anak yang memiliki fisik yang kuat, punya semangat luar biasa, bahkan lebih tangguh dari orang dewasa. Tapi jangan sampai karena satu-dua kisah sukses, kita jadi menggampangkan risikonya. Anak kecil bukan alat untuk konten heroik di media sosial.

BACA JUGA: Penyebab Utama Sesak Napas saat Mendaki Gunung

Edukasi atau Eksploitasi?

Kalau tujuannya untuk mengenalkan anak pada alam sejak dini, itu bagus banget. Anak jadi lebih cinta lingkungan, belajar bertahan, dan menghargai proses.

Tapi semua itu harus dilakukan dengan batas dan tanggung jawab. Jangan karena ingin viral, lantas anak dipaksa naik gunung yang bahkan orang dewasa pun ngos-ngosan.

Ada yang bawa anak ke jalur ekstrem, suhu dingin ekstrem, tanpa perlengkapan memadai, bahkan tanpa edukasi soal survival dasar. Kalau sudah begini, masih bisa dibilang “mendidik”, atau sebenarnya itu eksploitasi terselubung?

BACA JUGA: Wisata Alam Guci: Surga Tersembunyi di Kaki Gunung Slamet

Pentingnya Regulasi

Sayangnya, belum banyak basecamp atau pengelola jalur pendakian yang punya aturan tegas soal batas usia minimum pendaki. Akhirnya, siapa pun bisa naik asal bayar tiket pendakian atau simaksi. Padahal, pendakian memiliki banyak risiko yang bisa jadi fatal kalau kita terlalu santai menanggapinya.

Mungkin sudah saatnya dibuat standar kebijakan nasional atau SOP dari pengelola gunung terkait usia pendaki dan kesiapan fisik minimal, terutama untuk anak-anak. Meskipun ada beberapa pengelola gunung yang telah menerapkan batasan usia. Karena edukasi alam itu penting, tapi keselamatan tetap yang utama.

Pendaki Cilik Boleh, Asal…

Kita nggak menolak anak-anak belajar mencintai alam. Tapi bukan berarti mereka harus “naik gunung” dalam arti yang ekstrem. Masih banyak cara lain, seperti camping ringan, tracking pendek, wisata edukatif alam, dan sebagainya. Semua bisa jadi langkah awal tanpa harus menantang nyawa.

Dan kalaupun tetap memilih membawa anak mendaki, pastikan mereka paham dan setuju (bukan dipaksa), fisik dan mentalnya benar-benar siap, jalur dan cuacanya bersahabat, serta perlengkapan dan pendampingannya aman secara maksimal.

Mendidik anak jadi tangguh itu bagus, tapi jangan sampai kita abai atas keselamatannya demi pencapaian pribadi. Karena pada akhirnya, gunung akan tetap ada. Tapi nyawa dan trauma anak kecil, nggak bisa diulang.

(mc/ls)