
Suasana Danau Ranu Kumbolo di Gunung Semeru
Mounture.com — Menurut kepercayaan masyarakat Jawa kuno yang tertulis dalam naskah abad ke-15, dahulu Pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing oleh ombak tanpa arah.
Pada saat itu, Sang Hyang Siwa datang ke pulau tersebut dan melihat banyak pohon Jawawut tumbuh di sana. Dari situlah nama “Jawa” diberikan pada pulau itu.
Namun Pulau Jawa belum stabil, masih terombang-ambing di tengah samudra. Maka para dewa berembuk dan memutuskan untuk memaku Pulau Jawa dengan Gunung Meru, gunung suci yang sebelumnya berada di India.
Gunung Meru Dipindahkan oleh Dewa Wisnu dan Brahma
Dalam kisah ini, Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa, sedangkan Dewa Brahma menjelma menjadi ular naga panjang. Gunung Meru diletakkan di punggung kura-kura Wisnu, sementara tubuh Brahma membelit di sekelilingnya agar gunung tidak terjatuh.
Mereka berdua kemudian mengangkat Gunung Meru dari India dan meletakkannya di bagian barat Pulau Jawa. Namun karena berat gunung tersebut terlalu besar, ujung timur Pulau Jawa terangkat ke atas, menyebabkan ketidakseimbangan. Untuk menstabilkan pulau, para dewa kemudian memotong Gunung Meru menjadi dua bagian.
Bagian utama Gunung Meru diletakkan di timur dan dikenal hingga kini sebagai Gunung Semeru, sedangkan potongan kecil di barat menjadi Gunung Pawitra, atau sekarang disebut Gunung Pananggungan.
BACA JUGA: Gunung Dempo, ‘Teras Sumatera’ dengan Pesona Kawah Empat Warna dan Jalur Pendakian Menantang
Gunung Semeru, Tempat Bersemayam Para Dewa
Mengutip data dari Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, dalam ajaran Hindu, Gunung Meru diyakini sebagai pusat alam semesta dan tempat tinggal para dewa-dewa. Gunung ini dianggap sebagai penghubung antara bumi (manusia) dengan kahyangan (alam dewa).
Karena itulah, hingga kini banyak masyarakat Jawa dan Bali memandang Gunung Semeru (Mahameru) sebagai gunung suci — tempat bersemayamnya dewa-dewa dan roh leluhur. Orang yang ingin mendengar suara atau wahyu para dewa dipercaya harus bersemedi di puncak Mahameru.
Kepercayaan Masyarakat Bali dan Upacara di Gunung Mahameru
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, Gunung Mahameru dianggap sebagai “Bapak Gunung Agung”. Upacara persembahan kepada para dewa Gunung Mahameru dilakukan setiap 8 hingga 12 tahun sekali, biasanya setelah seseorang menerima suara gaib dari dewa gunung tersebut.
Selain itu, banyak peziarah yang datang ke Gua Widodaren di kawasan Semeru untuk mendapatkan Tirta suci, air yang diyakini membawa berkah dan penyucian diri.
BACA JUGA: Checklist Persiapan Liburan Akhir Tahun bagi Pecinta Alam: Lengkap dan Anti Lupa!
Roh Penjaga di Sekitar Semeru dan Ranu Kumbolo
Kepercayaan lain yang masih hidup di kalangan masyarakat dan pendaki adalah tentang penunggu gaib di sekitar Semeru, Bromo, dan Ranu Kumbolo. Roh-roh leluhur diyakini menjaga hutan, bukit, dan danau di sekitar kawasan tersebut.
Pendaki yang berkemah di Ranu Kumbolo sering melaporkan melihat penampakan gaib atau merasakan kehadiran makhluk halus. Namun, masyarakat setempat percaya bahwa roh-roh tersebut bukan untuk menakuti, melainkan menjaga keseimbangan alam dan melindungi wilayah suci.
Makna Spiritual Gunung Semeru bagi Masyarakat Nusantara
Legenda tentang pemindahan Gunung Meru ini bukan sekadar mitos, tetapi mencerminkan pandangan spiritual masyarakat Jawa terhadap keseimbangan alam dan hubungan antara manusia dengan dewa.
Gunung Semeru hingga kini menjadi simbol kesucian, pusat dunia, dan tempat pertemuan antara manusia dan Sang Pencipta.
(mc/ril)





