
Foto hanya ilustrasi yang dihasilkan AI
Mounture.com — Mendaki gunung itu katanya soal perjuangan, soal menyatu dengan alam, soal menaklukkan ego dan mengalahkan rasa lelah. Tapi belakangan ini, ada “bumbu” lain yang makin sering terlihat di jalur pendakian adalah kemesraan.
Pasangan-pasangan muda tampak bergandengan tangan, saling menatap mesra sambil menapaki tanjakan curam. Ada yang saling suapi mi instan di tenda, ada yang bersandar di pundak pasangannya sambil menikmati senja di atas awan. Sekilas, ini seperti adegan film romantis berlatar alam liar.
Sebagian pendaki menganggap ini menggemaskan, sebagian lagi mungkin agak mengernyit. Tapi sebenarnya, salahkah bermesra di gunung?
Jawabannya tergantung cara pandang. Bagi saya, kemesraan di gunung itu sah-sah saja, selama tahu tempat dan tahu batas.
Gunung bukan tempat pacaran bebas, tapi juga bukan tempat untuk pasang wajah serius 24 jam. Menjadi pasangan romantis di alam terbuka itu boleh, asal tidak mengganggu orang lain dan tetap menjaga etika pendakian.
BACA JUGA:
Kebutuhan Air Saat Mendaki Gunung: Panduan Detail untuk Pendakian Aman
Mengenal Muscle Memory saat Pendakian
Justru, melihat pasangan yang saling mendukung di trek terjal itu memberi energi positif. Mereka belajar kompak, saling bantu pasang tenda, berbagi logistik, bahkan bergantian menyemangati saat satu sama lain mulai kelelahan. Bukankah itu bentuk cinta yang paling “real”? Cinta yang berkeringat dan berdebu.
Namun begitu, tetap ada yang perlu diingat, yakni jangan sampai kemesraan membuat lupa akan tanggung jawab sebagai pendaki. Jangan karena sibuk selfie berdua jadi lupa buang sampah di tempatnya. Jangan juga karena asyik bercanda sampai bikin rombongan lain terganggu tidurnya di malam hari.
Gunung mengajarkan kita untuk rendah hati, dan itu juga berlaku dalam urusan asmara. Mesra boleh, tapi tetap hormati alam dan sesama pendaki.
Kalau ingin peluk-pelukan atau cium kening pasangan, tunggu sampai turun ke basecamp atau setidaknya cari tempat yang tidak mengganggu privasi orang lain. Ingat, bukan cuma kalian yang naik gunung.
Dan satu hal yang menarik adalah kadang cinta yang tumbuh di gunung terasa lebih dalam. Karena kamu tidak hanya melihat pasanganmu saat rapi dan wangi, tapi juga saat dia ngos-ngosan, berkeringat, atau bahkan nangis karena kelelahan.
Kalau masih cinta setelah lihat itu semua, mungkin memang dia yang harus diajak naik bareng, bukan cuma ke gunung, tapi juga ke pelaminan.
Akhir kata, kemesraan pendaki itu bukan masalah. Yang penting: tetap jaga adab, jaga alam, dan jaga hati. Kalau bisa romantis sambil tetap tangguh dan bertanggung jawab, kenapa nggak?
(mc/ril)