
Foto: PVMBG
Mounture.com — Gunung Colo berdiri setinggi kurang lebih 486 mdpl di Pulau Una-Una, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Tingginya memang tidak sebanding dengan gunung-gunung besar lain di Indonesia, namun sejarahnya menyimpan salah satu erupsi paling dahsyat yang pernah terjadi di Tanah Air.
Colo adalah gunung api soliter yang tumbuh di tengah Teluk Tomini, jauh dari rangkaian jalur vulkanik utama Nusantara. Namun kesunyiannya inilah yang membuat letusannya pada tahun 1983 menjadi peringatan bagi dunia vulkanologi.
Untuk mencapai puncaknya, pendaki biasanya memulai perjalanan dari Kampung Awo. Rute ini menyusuri Sungai Awo dan Sungai Tanjung Marola, langsung menuju puncak lalu turun ke area kawah.
Trek menuju kawah dapat ditempuh dalam waktu 2–3 jam, menjadikannya perjalanan singkat namun penuh pesona hutan tropis dan jejak vulkanik masa lalu.
BACA JUGA: Jalur Pendakian Gunung Penanggungan via Genting Tawarkan Rute Bersejarah dan Pemandangan Memukau
Dikutip dari laman Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), dijelaskan bahwa nama Colo dalam bahasa Bugis berarti korek api, sebuah metafora yang kelak terasa tepat.
Pulau Una-Una dikenal sebagai pulau yang sangat subur, bahkan dijuluki Pulau Ringgit karena hasil buminya yang melimpah seperti kelapa, cengkeh, hingga hasil laut seperti kepiting dan teripang.
Sebelum erupsi 1983 terjadi, Pulau Una-Una dihuni sekitar 7.000 jiwa, mayoritas berasal dari suku Bugis dan Gorontalo. Desa-desa tumbuh makmur, perkebunan kelapa meluas, dan kehidupan masyarakat berjalan tenteram, hingga tanda-tanda perubahan muncul.
Aktivitas vulkanik Gunung Colo mulai terdeteksi sejak 1975, ketika muncul solfatara baru di Bukit Ambo, sekitar 1.500 meter dari puncak. Aktivitas ini semakin meningkat pada Agustus 1982, ditandai oleh 41 gempa yang dirasakan penduduk.
Memasuki Juli 1983, gempa semakin sering terjadi. Getarannya bukan sekadar peringatan kecil—melainkan tanda bahwa sebuah letusan besar sedang disiapkan oleh gunung yang telah tertidur 83 tahun.
Pada 18 Juli, peningkatan gempa memicu erupsi freatik pertama. Pemerintah segera mengevakuasi seluruh penduduk ke Pulau Togian dan Ampana. Sebanyak 7.000 orang meninggalkan rumah mereka, keputusan yang terbukti menyelamatkan banyak nyawa.
BACA JUGA: Cara Menangani Terkilir saat Mendaki Gunung: Jangan Langsung Diurut, Gunakan Metode R.I.C.E
Tanggal 23 Juli 1983, pukul 16.23 WITA, Gunung Colo meletus hebat. Dari kejauhan, para pengungsi menyaksikan awan cendawan raksasa membumbung hingga 15 kilometer ke langit.
Dalam hitungan menit, awan panas tipe soufrière melesat dan menyapu 2/3 wilayah Pulau Una-Una. Hutan, kampung, dan perkebunan rata dengan tanah. Air laut di sekeliling pulau menghangat hingga banyak ikan ditemukan mati di pantai.
Hujan abu mencapai Kota Palu yang berjarak 180 km, bahkan menyebar sejauh 300 km ke Sulawesi Selatan dan mencapai Kalimantan Timur. Letusan ini berlangsung aktif hingga Oktober 1983, dan Gunung Colo baru dinyatakan tenang setelah enam bulan.
Erupsi mengubah Una-Una dari pulau subur menjadi wilayah gersang. Kota kecamatan dipindahkan ke Wakai di Kepulauan Togian. Lahar yang terus terjadi pasca-erupsi selama hampir satu tahun menggerus endapan setebal 6–10 meter, menyempurnakan kerusakan pulau tersebut.
Meskipun tidak ada korban jiwa, kerugian materi tidak bisa dihitung dengan pasti.
Tiga tahun setelah letusan, warga perlahan kembali ke Una-Una. Mereka yang masih memiliki lahan kelapa atau ingatan batas tanah mulai membangun rumah dan mengolah kebun yang tersisa. Pada 1999, pengamatan menunjukkan bahwa kehidupan mulai pulih, meski masih banyak warga yang belum menetap.
Hasil penelitian setahun setelah erupsi menemukan bahwa sumbat lava hancur dan menyisakan tiga kawah dengan ukuran berbeda. Ketebalan endapan pun bervariasi, dengan sektor barat menjadi yang terdalam, hingga 600 cm.
(mc/ril)





