
Gunung Raung di Jawa Timur – Foto: Instagram/@raungcamp
Mounture.com — Kementerian Kehutanan (Kemenhut) telah mengeluarkan standar baru pendakian gunung di Indonesia melalui sistem grading. Langkah ini diambil menyusul semakin kompleksnya persoalan pendakian, mulai dari keselamatan pendaki, manajemen kawasan, hingga sarana prasarana.
Pendakian gunung di Indonesia kini diarahkan pada standar baru yang lebih ketat, dengan fokus pada Zero Waste dan Zero Accident.
Berdasarkan hasil validasi grading jalur pendakian gunung di kawasan Taman Nasional (TN) dan Taman Wisata Alam (TWA) menunjukkan bahwa jalur pendakian di Indonesia sangat bervariasi.
Sebanyak 78 jalur resmi yang diisi oleh UPT Balai Taman Nasional dan KSDAE telah diklasifikasikan berdasarkan kondisi jalur dan tingkat risikonya.
Penilaian ini menegaskan bahwa dalam satu gunung bisa terdapat lebih dari satu jalur dengan grade berbeda, sesuai kondisi lapangan.
BACA JUGA: Kemenhut Terapkan Standar Baru Pendakian Gunung di Indonesia
Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, menegaskan bahwa tragedi Juliana Marins di Taman Nasional Gunung Rinjani menjadi duka sekaligus pemantik perubahan dalam tata kelola jalur pendakian di Indonesia.
“Pendakian gunung adalah aktivitas berisiko tinggi. Prinsip zero accident menegaskan bahwa setiap nyawa harus dilindungi dengan sistem keselamatan yang kuat, dari awal perjalanan hingga turun kembali. Pendakian bukanlah mass tourism, melainkan ekowisata berorientasi konservasi, sehingga harus selektif dan penuh kehati-hatian,” katanya.
Menurutnya, grading jalur pendakian berbasis risiko menjadi acuan penting baik bagi pendaki maupun pengelola jalur.
Bagi masyarakat, kata dia, sistem ini membantu memahami tingkat risiko serta mengukur kesiapan diri sebelum mendaki. Sedangkan bagi pengelola, grade jalur menjadi landasan penyusunan SOP pendakian, kebijakan penggunaan pemandu, penyediaan sarana prasarana keselamatan, hingga kesiapan tim SAR.
BACA JUGA: Desa Wisata Nglanggeran: Pesona Gunung Api Purba, Embung, dan Budaya Jawa di Gunungkidul
Gunung dengan Grade IV dan V akan membutuhkan inovasi pengamanan modern, seperti penggunaan beacon personal system, aplikasi live GPS, gelang RFID, hingga teknologi terapan lain yang memudahkan pemantauan dan evakuasi darurat.
Kriteria grade jalur pendakian gunung sebagai berikut:
1. Grade I (Sangat Mudah): Jalur jelas, dapat diselesaikan tanpa bermalam, cocok untuk pemula.
2. Grade II (Mudah): Jalur jelas namun berpotensi butuh bermalam, alat bantu berjalan disarankan, cocok untuk pendaki berpengalaman ringan.
3. Grade III (Menengah): Membutuhkan peralatan kemah, logistik standar, dan navigasi dasar. Cocok untuk pendaki terlatih.
4. Grade IV (Berat): Jalur curam dan bervariasi, butuh peralatan teknis (tali, webbing, ascender), navigasi lanjutan, serta pengalaman multi-jalur sebelumnya.
5. Grade V (Sangat Berat): Medan ekstrem, durasi panjang, butuh teknik panjat tebing, survival, rescue lanjutan, dan evakuasi sangat sulit. Hanya untuk pendaki berpengalaman penuh.
Penerapan sistem grading ini akan berdampak langsung pada standar Operasional Prosedur (SOP) tiap jalur, pengadaan alat SAR dan sarana pengaman jalur, pengaturan rasio pemandu-pendaki, kebutuhan level kualifikasi pemandu, dan persyaratan kelengkapan peralatan personal pendaki.
“Safety First! Mendaki gunung tidak cukup hanya dengan alasan FOMO. Grade jalur ini harus jadi panduan mitigasi risiko demi mewujudkan zero accident,” tutup Menhut.
(mc/ls/ril)