Mounture.com — Pernah merasa cepat bugar kembali saat naik gunung, meski sudah lama vakum? Jangan heran, karena tubuh punya sistem canggih bernama muscle memory alias memori otot. Inilah rahasia kenapa pendaki berpengalaman bisa cepat adaptasi meski lama tak mendaki.
Muscle memory adalah kemampuan tubuh untuk “mengingat” gerakan-gerakan yang pernah dilakukan secara berulang. Sistem saraf membentuk jalur sinyal yang semakin efisien dari waktu ke waktu.
Jadi meski otot tak lagi sekuat dulu, pola gerak dan refleks tubuh tetap terekam dengan baik. Berikut 5 manfaat utama muscle memory bagi pendaki:
1. Mempercepat Adaptasi Gerakan di Jalur
Meski sudah lama tidak naik gunung, tubuh pendaki lama tetap bisa cepat beradaptasi. Ini karena otot dan sistem saraf masih “mengingat” gerakan khas pendakian seperti:
– Menanjak dengan langkah pendek,
– Menjaga keseimbangan di medan miring,
– Mengatur beban carrier agar tetap stabil,
– Menuruni turunan tajam tanpa membuat lutut ngilu.
2. Mengurangi Risiko Cedera Awal
Muscle memory membantu tubuh melakukan gerakan refleksif yang benar saat menghadapi tantangan di jalur. Hal ini:
– Mengurangi risiko terpeleset, salah pijakan, atau postur buruk,
– Melindungi sendi, lutut, dan punggung dari kaget menerima beban.
3. Memulihkan Stamina Lebih Cepat
Meski kondisi fisik menurun, jalur koordinasi antara otak dan otot masih ada. Dengan latihan ringan beberapa minggu sebelum pendakian, tubuh bisa:
– Mengaktifkan kembali koneksi saraf,
– Mengembalikan stamina lebih cepat dibanding pemula yang harus mulai dari nol.
BACA JUGA: Panduan Wisata ke Gunung Bromo: Tiket, Rute, dan Tips
4. Meningkatkan Rasa Percaya Diri
Muscle memory juga berdampak pada mental dan psikologis pendaki. Saat tubuh terasa familiar dengan gerakan, muncul keyakinan seperti:
– “Tubuh saya masih bisa,”
– “Langkah ini terasa pas,”
– “Saya tahu cara menghadapi tanjakan ini.”
Efek ini penting untuk menjaga semangat dan fokus di medan berat.
5. Menghemat Energi Mental
Muscle memory memungkinkan banyak gerakan dilakukan secara otomatis, tanpa berpikir keras. Misalnya:
– Cara mengayunkan trekking pole,
– Ritme napas saat menanjak,
– Menentukan pijakan yang aman.
Dengan begitu, otak bisa fokus pada hal lain seperti navigasi, cuaca, atau koordinasi tim.
(mc/ril)